“Tongkol Besar, Panjang, Warna Biji Ceria. Itu yang Saya Mau”

(Selasa, 27 April 2021)

Bagi Mohamad Masrudi, menanam jagung hibrida super BISI 321 “Simetal” merupakan pengalaman yang kedua kalinya. Di lahan seluas 1,5 bahu atau sekitar 10.500 m2, ia kembali menanam Simetal untuk menjawab rasa penasarannya.

Memang, pada penanaman perdananya kurang sukses. Saat awal tanam, tepatnya sesaat setelah benih Simetal ia tanam, diguyur hujan lebat hingga lahannya itu tergenang. “Tanahnya sampai tidak terlihat,” kisah petani asal Desa Wonosobo, Srono, Banyuwangi, Jawa Timur itu.

Ia pun mengira benihnya itu tidak akan bisa tumbuh lantaran tergenang. “Ternyata setelah lima hari, benihnya tumbuh semua. Bagus dan rata,” ujar Mas Rudi.

Saat berumur sekitar 90 hari, angin kencang menerjang hingga merobohkan sebagian besar tanamannya itu. Namun begitu, ia masih bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Menurutnya, meskipun roboh kondisi tongkolnya juga masih bagus. “Besar dan panjang. Warna bijinya ceria. Itu yang saya mau,” kata Mas Rudi.

Dari hasil panen perdananya itu, Mas Rudi masih bisa mendapatkan hasil sebanyak sembilan karung besar jagung gelondong per kilogram benih Simetal. “Setelah saya proses sendiri, per karung itu bisa dapat 52 kilogram pipil kering. Jadi, per kilogram benih saya masih bisa dapat lebih dari 450 kilogram jagung pipilan kering,” terangnya.

Dari situlah rasa penasarannya muncul. Ia ingin membuktikan sendiri bagaimana hasil panen Simetal jika kondisinya normal dan tidak roboh.

Pada penanaman kedua kalinya ini, Mas Rudi memberikan perlakuan sedikit berbeda dari sebelumnya. “(Penyemprotan) fungisidanya saya perbanyak dan pupuknya saya oplos (campur-red.). Sedangkan jarak tanamnya tetap, 80×20 cm,” terangnya.

Penambahan frekuensi penyemprotan fungisida itu, kata Mas Rudi, untuk mengantisipasi serangan penyakit busuk batang dan bulai. Jika sebelumnya hanya tiga kali semprot, kali ini ia lipatkan menjadi enam kali semprot dengan interval tujuh hari sekali.

Sementara untuk pemupukannya, lanjutnya, tetap dua kali, yaitu saat umur 15 HST dan 40 HST. Hanya saja, ia menambahkan pupuk NPK pada setiap tahapan pemupukannya itu. “Biasanya hanya Urea dan Phonska, kali ini saya tambah pupuk NPK,” jelas Mas Rudi.

Hasilnya, kata Mas Rudi, pertumbuhan tanamannya lebih optimal dan batangnya lebih kokoh. “Alhamdulillah tanamannya aman. Mudah-mudahan hasilnya lebih banyak dari sebelumnya,” harapnya.(AT)

Sujai : Terlanjur Mantab Dengan BISI 18

Awal perkenalan Pak Sujai (47) dengan BISI 18 dimulai saat pertama kalinya ia mulai ‘belajar’ bercocok tanam jagung, empat tahun yang lalu. Petani dari Dusun Bale Panjang, Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, Jawa Timur itu sebelumnya hanya menanam kedelai sebagai tanaman utama di lahan tadah hujan yang ia kelola.

Menurut Pak Sujai, alasan utamanya beralih ke tanaman jagung adalah karena hasilnya yang lebih banyak dibandingkan kedelai. Saat itu ia melihat hasil panen jagung di kawasan Raci, Pasuruan. Kemudian ia pun langsung tertarik untuk memulai usaha tani jagung. Tidak lagi bercocok tanam kedelai.

“Jadi, sejak pertama belajar tanam jagung itu saya sudah menggunakan benih BISI 18,” terangnya.

Hasilnya Sudah Terbukti

Meskipun saat itu baru pertama kalinya belajar menanam jagung, Pak Sujai langsung merasakan enaknya. Ia juga langsung merasa cocok dengan benih yang digunakannya, yaitu benih hibrida super BISI 18.

Pertama kalinya bercocok tanam jagung, semua lahannya ia tanami BISI 18. “Saya langsung tanam BISI 18 sebanyak sepuluh kilogram,” terangnya.

Menurutnya, jagung hibrida super produksi PT BISI International, Tbk. itu sangat cocok dengan kondisi lingkungan di daerahnya yang tadah hujan. “Pertumbuhannya bagus, apalagi setelah pemupukan pertama, cepat dan serempak tumbuhnya. Tanamannya juga lebih tahan bulai,” ujar Pak Sujai.

Hasilnya pun, kata Pak Sujai, langsung membuatnya ketagihan untuk kembali menanam BISI 18 sampai sekarang. “Hasilnya mantab, lebih tinggi ketimbang jagung yang lainnya. Saat itu dapat hasil 5 ton pipil kering (dari 10 kg benih),” jelasnya.

Hasil itu memberinya keuntungan yang berlipat. Dengan harga jual saat itu sekitar Rp3.500/kg, Pak Sujai mendapatkan hasil Rp17,5 juta. “Biayanya kurang lebih hanya Rp2 juta,” ujarnya. Dengan demikian, dari bercocok tanam jagung BISI 18 itu ia sudah mengantongi hasil bersih lebih dari Rp15 juta.

Menurut Pak Sujai, hasil panen BISI 18 memang lebih bobot, dan bobot pipilnya tidak banyak berkurang setelah dijemur hingga kering. “Bobotnya anteb (berat-red.). Satu karung bekas gula pasir itu bobot pipil keringnya mencapai 65 kilogram. Kalau menggunakan karung bekas pupuk beratnya sampai 75 kilogram. Itu sudah (pipil) kering,” urainya.

Lantaran itulah, kata Pak Sujai, sampai saat ini ia enggan untuk beralih dari BISI 18. “Mulai pertama sampai sekarang tetap BISI 18. Ndak pindah blas (tidak pindah sama sekali-red.). Merek (jagung) lain saya tidak tertarik. Sudah terlanjur mantab dengan BISI 18,” ungkapnya.

Bahkan, lanjutnya, para petani jagung di desanya juga menanam BISI 18. “Di desa saya semuanya tanam BISI 18. Karena hasilnya sudah terbukti nyata,” tegas Pak Sujai. (AT)

Eden Farm Gandeng BISI Hasilkan 186 Ribu Ton Cabai Per Tahun

Salah satu perusahaan rintisan (startup) bidang pertanian yang sedang berkembang pesat di Indonesia, PT Eden Pangan Indonesia (Eden Farm), menjalin kerjasama dengan PT BISI International Tbk (BISI) untuk menghasilkan produk-produk pangan berkualitas.

Kerjasama tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan langsung oleh Pendiri sekaligus CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan dan Presiden Direktur BISI Jemmy Eka Putra di warehouse Eden Farm Ciracas, Jakarta Timur (6/4/2021). Penandatanganan MoU tersebut juga disaksikan langsung oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementerian Pertanian RI Ir. Bambang Sugiharto, M.ENG.Sc.

Dalam kerjasama selama lima tahun itu, Eden Farm akan menyediakan dan mengelola lahan seluas 12.000 ha bersama petani mitra yang ada di pulau Jawa dan Sumatera untuk penanaman cabai, baik cabai rawit, cabai keriting, maupun cabai besar.

Sementara BISI sendiri sebagai salah satu produsen benih terkemuka di Indonesia, akan menyediakan benih cabai dan pestisida maupun produk agrochemical pendukung lainnya serta bimbingan teknis kepada para petani mitra selama pengelolaan lahan cabai tersebut.

Benih cabai hibrida yang akan disediakan oleh BISI totalnya mencapai 4,6 ton, yang terdiri dari: benih cabai rawit hibrida “Bhaskara” sebanyak 1 ton, benih cabai keriting hibrida “Rimbun 3” sebanyak 1,8 ton, dan benih cabai besar hibrida “Arimbi 85” sebanyak 1,8 ton.

Melalui kerjasama tersebut, nantinya Eden Farm akan mampu menambah pasokan hasil panen cabainya sebanyak 186.000 ton per tahun. Dengan konsep “farm to kitchen”, perusahaan yang didirikan pada 2017 silam itu dapat menyalurkan hasil panen cabai ke seluruh usaha kuliner di Indonesia dengan lebih efisien. Sehingga konsumen bisa mendapatkan produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau.

Menurut Pendiri dan CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan, melalui kerjasama tersebut pihaknya berharap bisa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjaga kestabilan harga cabai di Indonesia. “Kami yakin, kerjasama ini akan memberikan dampak yang sangat baik untuk kedua belah pihak dan akan membantu banyak petani di nusantara,” ujarnya.

Presiden Direktur BISI Jemmy Eka Putra dalam kesempatan yang sama mengatakan, kerjama tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih nyata terhadap kemajuan pertanian di Indonesia. “Kerjasama ini juga menjadi salah satu bentuk dukungan BISI terhadap pengembangan startup di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Jemmy, selain cabai, masih banyak tanaman lain yang potensial untuk dikerjasamakan dengan Eden Farm. BISI sendiri hingga saat ini telah memiliki 30 tanaman hortikultura dengan 293 macam varietas, mulai dari cabai, tomat, terong, jagung manis, semangka, melon, paria, sawi hingga bunga marigold.

Sementara itu Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Bambang Sugiharto menyambut baik kerjasama tersebut. “Saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah perkawinan, bukan kerjasama, yang harapannya bisa langgeng selamanya,” ujarnya.

Menurut Bambang, kerjasama yang dijalin Eden Farm dengan BISI itu merupakan tiga macam perkawinan. Yaitu: perkawinan teknologi dengan teknologi, perkawinan teknologi dengan bisnis, dan perkawinan bisnis dengan bisnis.

Sebagai perkawinan teknologi dengan teknologi, Bambang menyebutnya sebagai perkawinan sejenis. BISI dengan teknologi di bidang perbenihannya dikawinkan dengan Eden Farm yang sudah maju dalam teknologi rintisannya.

Yang kedua perkawinan bisnis dengan bisnis, yaitu bisnis mutualisme. “Bisnis yang saling menguntungkan dan ingin sukses bersama. Ini layak untuk ditiru,” jelas Bambang.

Sementara yang ketiga, lanjut Bambang, yaitu perkawinan teknologi dengan bisnis. “Teknologi BISI dikawinkan dengan bisnis moderen Eden Farm yang penuh dengan anak muda yang inovatif, kreatif, tidak takut gagal, dan lebih berani ambil resiko,” ujarnya

Lebih lanjut, Bambang berharap kerjasama tersebut bisa berjalan baik dan sukses dalam mengawal produksi pangan di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, juga dilakukan peninjauan fasilitas pengolahan bahan pangan yang dimiliki Eden Farm. Hingga saat ini, perusahaan tersebut telah mendistribusikan lebih dari 500 ton bahan pangan per bulan ke semua customernya yang tersebar di Jabodetabek, Cikarang, Karawang, Purwakarta, Bandung, Bandung Barat, Cimahi, Semarang, dan Surabaya melalui aplikasinya yang tersedia di Google Playstore atau Appstore. (AT)

Menengok 153 Ha SIMETAL di Perkebunan Glenmore

Hamparannya luas dengan kontur tanah yang tidak sepenuhnya datar, khas perbukitan dengan ketinggian sekitar 450 mdpl. Curah hujannya juga cukup tinggi, 3.000 – 3.500 mm per tahun. Itulah gambaran singkat lahan perkebunan milik PT Perkebunan Glenmore (PT Glenmore), perusahaan perkebunan karet di Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur.

Di lahan itulah, jagung hibrida super BISI 321 “Simetal” ditanam, dalam hamparan yang cukup luas, 153 ha. Penanaman jagung itu merupakan bagian dari optimalisasi lahan perkebunan agar tetap memberikan hasil yang menguntungkan bagi perusahaan produsen karet itu.

Menurut Supeno, Pimpinan Perkebunan PT Glenmore, lahan perkebunan yang digunakan untuk penanaman jagung tersebut merupakan lahan bekas tanaman karet yang sedang diremajakan.

“Setiap tahun itu kami membongkar tanaman karet untuk diremajakan. Setelah dibongkar itu ada tenggang waktu untuk melakukan replanting tanaman karet. Nah, selama masa tenggang itulah lahannya kami tanami jagung,” terang Pak Peno, sapaan akrab Supeno.

Tanaman karet sendiri, kata Pak Peno, dari awal tanam hingga bisa disadap getahnya memerlukan waktu 4-5 tahun. “Jadi, minimal selama lima tahun itu lahannya (yang ada di sela-sela tanaman karet) bisa kita tanami jagung,” ujarnya.

Kenapa memilih jagung? Menurutnya, tanaman semusim itu memiliki umur panen yang lebih pendek. Sehingga  bisa lebih cepat memberikan pendapatan bagi perusahaan.

“Tanaman jagung masih akan menjadi pilihan utama sebagai tanaman sela di perkebunan ini,” terang Pak Peno.

Menurut Pak Peno, terpilihnya Simetal sebagai varietas jagung andalan di perkebunan tersebut bukan tanpa alasan. Sebelumnya, pihaknya telah melakukan uji coba penanaman beberapa varietas jagung, salah satunya Simetal.

“Banyak varietas jagung yang kita coba tanam di sini. Ternyata, yang paling cocok dan potensi hasilnya tinggi memang BISI 321 ini. Sehingga untuk pengembangan selanjutnya, kami merasa BISI 321 masih menjadi varietas yang cocok untuk perkebunan di PT Glenmore,” ungkapnya.

Tahan Bulai dan Karat Daun

Salah satu alasan utama dipilihnya jagung Simetal di perkebunan milik PT Glenmore adalah ketahanannya terhadap serangan penyakit karat daun. Menurut Pak Peno, karat daun memang menjadi kendala utama penanaman jagung di areal perkebunannya.

“Karena di perkebunan ini curah hujannya tinggi, sekitar 3.000 hingga 3.500 mm per tahun. Sehingga kalau varietas itu tidak tahan, pasti akan kena karat daun,” terang Pak Peno.

Hal itu juga dibenarkan Mandor Kepala Afdeling Sumber Manggis PT Glenmore, M. Hasan Basri. Menurutnya, serangan penyakit yang dipicu oleh infeksi jamur Puccinia sorghi itu bisa mengakibatkan kerugian dan gagal panen.

“Tanaman jagung sebelum ini banyak kegagalan. Karena, tanamannya tidak tahan karat daun. Sampai 50% gagal panen,” terang Pak Hasan yang bertanggung jawab terhadap penanaman jagung Simetal seluas hampir 15 ha di Afdeling Sumber Manggis.

Ketahanan Simetal terhadap karat daun memang sudah teruji dan terbukti di perkebunan tersebut. Dari awal tanam hingga panen, tanamannya aman dari penyakit itu. “Pokoknya, kalau tanam jagung di sini, yang pertama harus tahan penyakit karat daun. Seperti BISI 321 (Simetal) ini, karena tahan karat daun, maka bisa selamat sampai panen,” ungkap Pak Hasan.

Bukan hanya karat daun, jagung Simetal juga terbukti bersih dari serangan penyakit utama pada tanaman jagung yang lain, yaitu bulai (Peronosclerospora maydis). “Bulai juga tidak ada. Aman,” tambah Pak Hasan.

Lebih Menguntungkan

Penanaman jagung hibrida super BISI 321 Simetal seluas 153 ha di perkebunan PT Glenmore itu dilakukan dalam waktu yang tidak bersamaan. Dari keempat afdeling, yaitu Sumber Manggis, Besaran, Kalitarik, dan Sepanjang Lor, umurnya beragam.

“Ada yang sudah panen. Tapi rata-rata sudah memasuki masa panen,” terang Pak Peno.

Dari tanaman yang sudah selesai dipanen di Afdeling Kalitakir, menjadi pembuktian tingginya hasil panen Simetal. “Hasil panen di Kalitakir dapat 15,7 ton gelondong per hektar,” ujar Pak Ribut, Kepala Mandor PT Glenmore.

Hasil itu, kata Pak Ribut, melebihi hasil rata-rata panenan jagung di perkebunan selama ini. “Rata-rata di bawah 10 ton per hektar gelondong. Paling bagus 12 ton (per hektar),” ujarnya.

Menurut Pak Ribut, kondisi lingkungan perkebunan dengan curah hujan tinggi dan rawan penyakit karat daun dan busuk batang memang memberikan tantangan tersendiri dalam budidaya jagung. “Kalau varietas jagung lain (yang sebelumnya ditanam pihak perkebunan), dengan kondisi seperti itu karat daun sudah pasti masuk. “Dari pengalaman kami, kalau sudah terkena karat daun hasilnya paling hanya bisa dapat 6 ton gelondong per hektar. Kami sudah pasti merugi,” ungkapnya.

Dengan hasil panen Simetal yang mencapai 15,7 t/ha tersebut, lanjut Pak Ribut, jelas memberikan keuntungan lebih bagi perusahaan. Tongkol besarnya benar-benar memberikan hasil nyata.

Seperti yang disampaikan Pak Hasan, dengan performa Simetal yang terbukti bagus itu untuk menghasilkan 16 ton gelondong per hektar bukan hal yang sulit. Dari hitungannya, dengan menanam Simetal dengan biaya Rp15 juta per hektar, maka untuk menghasilkan Rp30 juta per hektar bukan hal yang sulit.

“Apalagi ini tongkolnya lebih besar dan bobot, satu kilogram berisi tiga tongkol. Wah, ini iso oleh okeh (wah, ini bisa dapat banyak-red.),” kata Pak Hasan. (AT)

Memanen Cuciwis Montana

Keuntungan bercocok tanam kubis hibrida Montana bukan hanya dari melimpahnya hasil panen dengan kualitasnya yang super, tapi petani penanam masih bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil panen cuciwis atau kuciwis atau kubis mini yang tumbuh beberapa hari setelah kubis dipanen.

Cuciwisnya Montana banyak dan bagus, masih berbentuk kepala kubis, tidak pecah jadi daun. Sampai lima kali petik masih tidak pecah jadi daun. Kalau yang lain dua kali petik saja sudah jadi daun,” terang Haji Ade Sodikin, petani kubis Montana asal Desa Cisurupan, Cisurupan, Garut, Jawa Barat.

Dengan harga jual yang cukup bagus, berkisar Rp5.000/kg, hasil panen cuciwis Montana itu memberikan penghasilan tambahan bagi petani seperti Haji Ade. “Cukup untuk menutupi modal kerja,” ujar Haji Ade.

Dari sekitar 27.000 tanaman kubis Montana, Haji Ade bisa memanen cuciwis sebanyak 13,7 ton. “Itu belum termasuk yang saya kasihkan kepada para pekerja dan tetangga di sini. Kalau ditotal saya bisa panen cuciwis lebih dari 14 ton, dan itu pun belum habis,” terangnya.

Cuciwis Montana, kata Haji Ade, biasanya dipanen 10 – 14 hari setelah tanaman kubis dipotong atau dipanen. Cuciwis tersebut muncul pada bagian samping batang kubis yang telah dipotong. “Dalam satu tanaman Montana rata-rata ada dua atau tiga cuciwis. Total beratnya mencapai setengah kilogram per tanaman,” katanya.

Untuk mengoptimalkan hasil cuciwisnya, petani kubis seperti Haji Ade tersebut biasanya melakukan penyemprotan fungisida dan pupuk daun pada pangkal batang kubis yang telah dipanen atau dipotong tersebut.

Cuciwis sendiri bagi masyarakat sunda merupakan salah satu sayuran favorit. Dibandingkan dengan kubisnya sendiri, rasa kiciwis lebih manis dan lebih enak saat diolah menjadi masakan.

Layaknya kubis, kandungan nutrisinya yang lengkap pada kuciwis menjadikan sayuran tersebut memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Kandungan seratnya yang tinggi bisa membantu menjaga sistem pencernaan. Selain itu, kandungan klorofil pada daun cuciwis juga bisa mengatasi masalah sinusitis dan gangguan pada pancreas.

Kandungan vitamin dan mineralnya sangat bermanfaat untuk mencegah kanker dan menjaga kesehatan mata. Di samping itu, cuciwis juga baik untuk kesehatan gigi, tulang, jantung, dan otak, serta meningkatkan metabolisme tubuh dan mengurangi efek penuaan dini. (AT)

Panen Cepat atau Ditunda? Montana Bisa

Pak Dullah sudah beberapa kali menanam Montana. Salah satu alasan yang membuatnya suka bertanam kubis hibrida produksi PT BISI International, Tbk. itu adalah umur panennya yang fleksibel. Dipanen cepat bisa, ditunda panen pun juga tidak ada masalah.

“Umur 68 hari sudah bisa dipanen, (kepala) kubisnya sudah padat dan keras. Pernah juga saya undur panennya sampai 90 harian, kubisnya masih tetap tahan, tidak pecah,” terang petani kubis asal Desa Girirejo, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah itu.

Demikian halnya dengan Pak Meli, petani kubis di kawasan dataran tinggi Ijen, tepatnya di Desa Jampit, Kecamatan Ijen, Bondowoso, Jawa Timur. Kubis Montana-nya itu biasa ia panen di umur 80 – 90 hari setelah tanam.

“Bagus tanamannya, mudah perawatannya. Kemarin saya panen umur 90 harian,” ujar Pak Meli.

Menurut Agung Adriansyah, pemulia tanaman sayuran dataran tinggi dan Cucurbitaceae PT BISI, Montana memang bisa dipanen hingga umur di atas 90 hari setelah tanam, terutama jika ditanam di dataran tinggi. “Pada dataran menengah pun juga masih mampu untuk ditunda panen, khususnya saat ditanam di musim kemarau,” jelasnya.

Kubis spesialis dataran tinggi itu, kata Agung, cukup adaptif ditanam di semua musim, kemarau maupun penghujan. “Tanamannya lebih tahan penyakit busuk hitam atau black rot,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan Pak Sogol, petani kubis di Kelurahan Sarangan, Plaosan, Magetan, Jawa Timur. Selain lebih aman busuk hitam, kubis tersebut juga lebih tahan penyakit akar gada. Hal itu ia buktikan sendiri di lahannya yang berada di lereng gunung Lawu itu.

“Lebih aman dari akar gada juga. Jadi lebih mudah perawatannya,” kata Pak Sogol.

Sementara itu menurut Pak Agus, petani kubis dari Desa Cisurupan, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, kubis Montana juga lebih aman dari serangan ulat. “Saat kubis yang lain banyak bermasalah dengan serangan ulat, Montana yang saya tanam tidak banyak yang terserang. Padahal perawatannya juga sama saja,” terangnya.

Pak Meli juga membenarkan. Menurutnya, di kawasan Ijen, kubis Montana memang lebih tidak disukai oleh ulat. Sehingga saat musim banyak ulat, kubis yang ditanamnya itu lebih aman.

Disukai Domestik dan Ekspor

Masalah pasar menjadi pertimbangan utama bagi para petani sebelum memutuskan untuk menanam suatu komoditas. Demikian halnya dengan Montana. Hasil panen yang mudah diterima pasar menjadi alasan utama bagi mereka untuk menanam kubis tersebut.

“Mudah jualnya, disukai pedagang. Karena, bentuknya gepeng, padat, dan tahan simpan,” ujar Pak Dullah yang terakhir kubis Montana miliknya dipanen sebanyak 3.000 tanaman dengan berat rata-rata 2 kg.

Menurut Pak Sogol, selain karena lebih tahan simpan, pedagang juga menyukai hasil panen Montana karena lebih mudah dikemas dan kuat pengangkutan jarak jauh. “Kubisnya itu antep (bobot-red.), kata pedagangnya lebih aman di perjalanan dan tahan simpan,” jelasnya.

Bukan hanya pasar domestik, hasil panen Montana juga telah masuk ke pasar ekspor Taiwan. Menurut Pak Estu, pedagang asal Malang, Jawa Timur yang biasa menyuplai kubis untuk kebutuhan pasar ekspor, kubis Montana telah memenuhi syarat untuk bisa dikirim ke Taiwan.

“Montana sudah bisa masuk ke Taiwan. Karena, ukurannya besar, rata-rata di atas 2 kilogram. Selain itu rasanya juga manis dengan tekstur yang renyah,” terang Pak Estu. (AT)

Begini Cara Agar Bhaskara Tetap Membara

Bhaskara telah menjadi salah satu varietas cabai rawit hibrida andalan para petani di Indonesia. Hasil melimpah dengan umur panen yang lebih genjah menjadi alasan utama varietas ini sekian lama digemari para petani. Lantas, bagaimana mengoptimalkan potensi hasil dari cabai ini?

Menurut Andi Wahyono, pemulia tanaman cabai PT BISI International, Tbk., pada prinsipnya dalam budidaya cabai, khususnya Bhaskara, adalah mengontrol asupan nutrisi. “Kuncinya jangan terlalu banyak Nitrogen (N) dan lebih optimal dalam pemberian pupuk yang mengandung Kalium (K), Phosphat (P), Kalsium (Ca), dan Magnesium (Mg),” terangnya.

Lebih lanjut Andi menjelaskan, untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan potensi hasil Bhaskara bisa dimulai sejak awal persiapan lahan. Penggunaan pupuk kompos kotoran ternak, terutama kotoran kambing atau sapi, sebagai pupuk dasar sangat dianjurkan. “Selain menyuburkan, pemberian pupuk kompos juga untuk memperbaiki kualitas fisik, kimia, dan biologi dalam tanah,” ujarnya.

Oleh karena itu, katanya, dalam luasan satu hektar lahan, minimal dibutuhkan pupuk kompos sebanyak 5 ton. “Minimal lima ton per hektar. Maksimalnya tidak ada batasan. Semakin banyak semakin bagus,” jelas Andi.

Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah derajat keasaman tanah (pH tanah). Pengecekan pH tanah secara berkala penting dilakukan. pH tanah ideal yang sangat dianjurkan dalam budidaya cabai berkisar 5,5 – 7 (pH netral). Menurut Andi, pada kondisi pH tanah netral, maka tanaman akan lebih mudah menyerap unsur hara yang ada di dalam tanah.

“Untuk menjaga dan meningkatkan pH tanah, berikan dolomit seminggu sekali dengan dosis 20 gram per liter air dengan cara dikocorkan pada lubang pupuk,” terang Andi.

Kemudian, lanjut Andi, di awal pertumbuhan, berikan pupuk NPK yang kandungan unsur N-nya rendah (6 – 12%). “Berikan pupuk NPK rendah N dengan dosis 20 gram per litar air dengan cara dikocorkan pada lubang pupuk. Pada musim hujan, pengocoran cukup satu atau dua kali. Sementara pada musim kemarau, pengocorannya bisa sampai tiga kali dengan interval dua atau tiga minggu sekali,” jelasnya.

Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fase generatif tanaman, asupan unsur P dan K sangat dibutuhkan. “Saat tanaman mulai berbunga hingga menjelang panen, berikan pupuk Multi KP dan Multi KMg secara bergantian seminggu sekali. Bisa dengan cara disemprotkan pada daun tanaman dengan dosis 5 ml per liter air atau dikocorkan pada lubang pupuk dengan dosis 40 gram per liter air,” terang Andi.

Dengan pemupukan berimbang rendah N tersebut, lanjut Andi, selain pertumbuhan tanaman Bhaskara lebih optimal, hasil panen juga lebih banyak dan berkualitas. “Buahnya juga tidak mudah rontok, sehingga hasil yang bisa didapat petani akan lebih maksimal,” ungkapnya. Selamat berkebun Bhaskara! (AT)

Pedas Bhaskara yang Masih Membara

Setiap tahun, Joni selalu menanam Bhaskara. Usia panen yang lebih cepat dengan hasil panen yang lebih banyak menjadi alasan utama petani asal Desa Kedungmungal, Kecamatan Pungging, Mojokerto, Jawa Timur itu untuk selalu menanam cabai rawit hibrida tersebut.

“Tanamnya cepat. Tidak perlu terlalu lama untuk menunggu panennya. Hasil buahnya juga lebih lebat,” terang Joni.

Demikian halnya dengan Suparman, petani cabai yang juga dari Desa Kedungmungal. Sejak sepuluh tahun yang lalu, setiap kali menanam cabai rawit, Bhaskara menjadi andalan utamanya. “Selalu tanam Bhaskara. Pertama, karena hasilnya lebih banyak, buahnya lebih padat dan bobot. Kedua, pertumbuhannya cepat. Umur 60 hari setelah tanam sudah mulai panen. Padahal, cabai biasa, umur 100 hari baru bisa dipanen,” ujarnya.

Dari Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Wajo, Bhaskara juga sudah menjadi kesukaan para petani cabai di sana. Sandi salah satunya, pertama kalinya menanam, petani dari Desa Simpursia, Kecamatan Pammana, Wajo itu mengaku langsung jatuh hati dengan cabai rawit hibrida produksi PT BISI International, Tbk. itu.

“Bisa tahan penyakit layu dan busuk buah. Buahnya juga lebih banyak dan timbangannya lumayan berat. Senang tanamnya,” kata Sandi.

Bagi Sandi, meskipun belum pernah sekalipun menanam cabai, ia tidak merasa kesulitan sama sekali saat menanam Bhaskara. Menurutnya, menanam cabai tersebut justru lebih mudah. “Perawatannya lebih mudah, pertumbuhannya cepat, dan tidak mudah terserang penyakit,” terangnya.

Sementara itu, Suyadi, petani cabai dari Desa Puncu, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, juga menyampaikan kesenangannya saat bertanam Bhaskara. “Tanam Bhaskara itu enak. Biayanya irit, perawatannya juga tidak terlalu ruwet. Aman dari penyakit,” ujarnya.

Terlebih saat Suyadi melihat buahnya yang lebat. “Seneng banget, nang ati niku adem (senang sekali. Di hati rasanya dingin-red.). Karena, belum pernah saya menanam cabai rawit yang buahnya bisa selebat ini. Apalagi kalau harganya sedang bagus,” ungkapnya sambil tersenyum.

Hasil panen Bhaskara memang menggiurkan jiwa. Performa tanaman yang bagus sejak awal tumbuh semakin sempurna dengan buahnya yang lebat.

“Dari 4.500 tanaman, total bisa mendapatkan hasil tiga ton lebih. Lebat sekali buahnya,” kata Suparman.

Joni juga membenarkan hasil panen Bhaskara yang melimpah. Dari satu tanaman, katanya, minimal bisa menghasilkan setengah kilogram.

Sandi, yang baru mulai memanen Bhaskara yang ditanamnya juga mendapatkan hasil yang memuaskan. “Ini baru dua kali panen. Dari 2.500 tanaman, pertama panen dapat 11 kilogram, kemudian panen kedua dapat 31 kilogram. Harganya juga cukup bagus, Rp40.000 per kilogram,” terangnya.

Hasil yang melimpah namun dengan biaya yang lebih irit tentu menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi petani. Terlebih hasil panennya juga digemari pasar.

“Tanam Bhaskara memang lebih irit. Sampai panen pertama umur 60 an hari baru saya pupuk dua kali,” kata Suyadi.

Menurut Suyadi, hasil panen Bhaskara yang sudah diterima pasar menjadi nilai lebih tersendiri. Karena, sebanyak apapun hasil panennya, petani seperti dirinya tidak khawatir lagi dengan masalah pasca panen. “Hasil panen bisa dengan mudah dijual ke pasar,” ujarnya.

Suparman juga membenarkannya. Kini para petani cabai yang menanam Bhaskara tidak perlu khawatir dengan masalah penjualan hasil panen. “Pasar sudah menerima dengan baik,” katanya.

Adaptif di Bawah Naungan

Budidaya cabai Bhaskara bisa di mana saja dan kapan saja. Mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Musim hujan maupun kemarau.

Menurut Andi Wahyono, pemulia tanaman cabai PT BISI, cabai Bhaskara memiliki daya adaptasi yang lebih luas, sehingga bisa ditanam di mana saja. Bahkan, ditanam di bawah naungan pun tetap bisa optimal. Karena, tanaman cabai tersebut lebih tahan dari penyakit layu, baik itu layu bakteri maupun layu fusarium, yang sering menjadi kendala saat tanaman cabai ditanam di bawah naungan yang lebih lembab dan kurang cahaya.

“Cabai Bhaskara juga lebih toleran penyakit busuk Phytophthora. Ketahanan virusnya juga cukup bagus,” ujar Andi. (AT)

QUEEN 12, Hasil Melimpah, Lebih Aman Lalat Buah

Tidak perlu repot membungkus buah paria dengan plastik, dan tidak perlu terlalu khawatir lagi dengan serangan lalat buah. Itulah salah satu keuntungan bertanam Queen 12, “Si Ratu Paria” produksi PT BISI International, Tbk.

Musim hujan kali ini memberi tantangan tersendiri bagi para petani sayuran, salah satunya petani paria. Tidak hanya intensitas hujan yang tinggi sebagai akibat dari pengaruh La Nina, namun serangan hama dan penyakit juga meningkat. Serangan lalat buah misalnya.

Akhir-akhir ini banyak petani paria yang direpotkan oleh serangan lalat buah yang membuat hasil panennya bermasalah. Buahnya tidak normal, busuk, rontok, dan tidak bisa dijual.

Sebagai langkah antisipasi, tidak sedikit petani paria yang membungkus buah yang masih kecil dengan menggunakan plastik. Tujuannya agar lalat buah tidak hinggap dan meletakkan telurnya di buah tersebut.

Meski demikian, hal itu cukup merepotkan. Petani harus meluangkan waktu khusus, tenaga, dan biaya untuk membungkus semua buah yang masih ada di pohon tersebut.

“Repotnya begini, kita tanamnya kan banyak, jadi butuh waktu, tenaga, dan biaya tambahan yang yang lebih banyak. Yang jelas, kalau dibrongsong (dibungkus-red.) tenaganya gak nutut (tidak cukup-red.). Saya malah rugi kalau begitu,” ujar Sumarji, petani paria dari Desa Kunir, Kecamatan Wonodadi, Blitar, Jawa Timur.

Selama bertanam paria, Sumarji memang tidak pernah bermasalah dengan lalat buah. “Ada yang terserang, tapi sangat sedikit sekali, hanya beberapa buah saja,” terangnya.

Menurut Pak Marji, demikian panggilan akrab Sumarji, jenis paria yang ditanam juga sangat menentukan. Sejak dirinya menanam paria hibrida Queen 12, masalah lalat buat tidak pernah menjadi kendalanya.

“Queen 12 memang bagus dan lebih aman dari lalat buah. Tidak perlu dibrongsong (dibungkus-red.) buahnya,” ucapnya saat ditemui di lahan paria Queen 12 miliknya yang sudah mulai panen.

Hal yang sama juga disampaikan Anas, petani paria dari Desa Ngampel, Kecamatan Papar, Kediri, Jawa Timur. “Sejak saya tanam Queen 12 ini kok lebih aman dari lalat buah. Perangkap lalat buah yang saya pasang di lahan juga bersih, tidak ada yang terperangkap. Padahal, biasanya selalu ada lalat buah yang menyerang, terutama saat buah mulai dipanen,” ujarnya.

Yuni, petani sayuran dari Ponggok, Blitar, turut membenarkan. Meskipun baru pertama kalinya menanam Queen 12, buahnya lebih aman dari lalat buah. “Aman mas, tidak ada yang terkena lalat buah. Padahal pas musim hujan begini lalat buah banyak menyerang,” terangnya.

Sementara itu, Harjono, petani sayuran di Desa Mrebung, Kecamatan Klaten Selatan, Klaten, Jawa Tengah juga mengakui keunggulan paria tersebut. “Warna buahnya lebih gelap dari paria yang biasanya itu. Sejak awal berbuah sampai mulai panen ini cukup aman dari lalat buah,” katanya.

Menurut Hoerussalam, SP., M.Sc., Seed Health Testing Manager, Laboratorium Proteksi Tanaman, Departemen Bioteknologi, PT BISI International, Tbk., tanaman yang memiliki warna buah lebih gelap memang cenderung tidak disukai oleh lalat buah. Sehingga, warna buah paria Queen 12 yang lebih gelap menjadi nilai tambah tersendiri bagi petani, karena lebih aman dari lalat buah.

“Jika dibandingkan warna buah yang terang, khususnya kuning, warna buah yang lebih gelap cenderung tidak disukai lalat buah,” ujar Salam.

Hasil Melimpah

Jika hanya sekedar aman dari lalat buah rasanya tidak akan cukup memuaskan bagi petani. Karena, yang utama bagi petani adalah hasilnya yang melimpah dengan “bonus utama” ketahanannya terhadap serangan hama dan penyakit.

“Queen 12 ini bagus hasilnya, buahnya banyak. Sudah bertahun-tahun tanam selalu memuaskan, tidak ada masalah sama sekali,” ungkap Pak Marji yang rutin menanam Queen 12 hingga 2,5 ha dalam sekali musim tanam.

Saat puncak panen Queen 12, kata Pak Marji, dalam sekali petik bisa mendapatkan 3 ton/ha. Dari pengalamannya, periode panen paria tersebut rata-rata mencapai 25 kali petik dengan selang 3 hari “Puncaknya itu pada petikan ke-10 sampai ke-15. Bisa dapat tiga ton per hektar. Kalau dihitung per tanaman, rata-rata bisa menghasilkan lima kilogram,” terangnya.

Hal itu juga dibenarkan Anas. Menurutnya, paria tersebut memang berbeda dari yang lain. Terutama dalam hal produktivitas. “Hasilnya lebih banyak. Kalau dilihat dari tanamannya, sulur dan cabangnya serta calon buahnya itu memang lebih banyak. Sehingga wajar kalau buahnya lebih banyak dari yang lain,” ujarnya.

Demikian halnya dengan Harjono, meskipun belum lama beralih menggunakan benih Queen 12, ia sudah bisa membuktikan bahwa produktivitas paria tersebut lebih baik dari yang lain. “Buahnya berbeda, lebih seragam, lebih panjang, dan yang jelas lebih banyak. Untuk dapat lima kilogram per tanaman itu tidak sulit,” ujarnya.

Sementara bagi Yuni, menanam Queen 12 itu lebih memudahkan petani seperti dirinya. Pasalnya, perawatannya lebih mudah, irit biaya, dan hasilnya memuaskan. “Pare niki penak tandurane, penak ramutane, niki mawon lahane bekas lombok. Mupuke nggih sak kobere, ragate mboten katah (paria ini mudah tanamnya, mudah perawatannya, ini saja ditanam di lahan bekas cabai. Pemupukannya juga sekedarnya, biayanya tidak banyak-red.),” ujarnya. (AT)

Ceria Petani Minahasa Dengan GRAND 33

Richard Pantouw sudah kedua kalinya ini menanam kubis hibrida Grand 33. Pada penanaman kedua kalinya itu ia menanam sekitar 10.000 tanaman di ladangnya yang berada di Desa Tempok, Kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara.

Berada di ketinggian sekitar 700 mdpl, kubisnya itu tumbuh optimal meskipun di tengah guyuran hujan. Menurutnya, tanamannya terbukti lebih tahan penyakit busuk hitam (black rot) dan juga karat daun yang banyak menyerang tanaman kubis di Tompaso saat musim hujan.

“Grand 33 kuat di musim hujan. Tanamannya lebih tahan dari serangan karat daun dan busuk hitam,” ujar Richard.

Baginya, kubis Grand 33 termasuk istimewa. Pasalnya, selain tanamannya lebih bandel dan mudah perawatannya, umur panennya juga lebih cepat dibanding kubis lain yang biasa ditanam petani setempat.

“Umur 56 hari sudah mulai bisa dipanen. Lebih cepat tiga sampai empat minggu dibanding kubis lain,” terang Richard.

Dengan umur panen yang lebih genjah, petani bisa lebih cepat untuk mendapatkan penghasilan, dan lahannya bisa lebih cepat ditanami lagi.

Head atau kepala kubisnya sendiri, kata Richard, juga bagus. Bentuknya bulat pipih dengan lapisan daun yang padat, keras, dan kompak. Sehingga hasil panennya lebih tahan simpan dan kuat untuk pengiriman jarak jauh.

“Hasil panen kemarin semuanya untuk dikirim ke Maluku Utara. Barangnya bagus, kuat untuk kiriman jauh. Tidak ada masalah di pasar,” ujar Richard.

Menurut Richard, lebih dari 90% hasil panen Grand 33 masuk kategori grade A. Untuk masuk kategori tersebut, kubis harus memenuhi sejumlah kriteria, antara lain: bentuknya seragam, padat, ukurannya pas (diameter sekitar 20 cm), dan daunnya mulus tanpa ada bekas penyakit seperti karat daun.

Kubis Grand 33 milik Richard itu memiliki berat rata-rata 3 kg/tanaman. Total panennya mencapai 29 ton. Dengan harga jual rata-rata Rp7.000/buah, ia mendapatkan penghasilan total lebih dari Rp68 juta. Padahal, biaya tanamnya tidak lebih dari Rp7 juta. Sehingga ia pun mengantongi pendapatan bersih tidak kurang dari Rp60 juta.

Teruji, terbukti, dan akhirnya digemari. Begitulah akhirnya. Apa yang sudah dilakukan dan dibuktikan oleh Richard itu pun diikuti para petani kubis di daerahnya. Bahkan, salah satu tetangganya sudah langsung menanam hampir 20.000 tanaman Grand 33.

“Untuk wilayah Minahasa dan Tomohon sudah mulai banyak yang menanam Grand 33. Karena, sudah terbukti hasilnya,” ujar M. Yusran Saputra, Marketing Executive PT BISI International, Tbk. area Sulawesi Utara.

Yuk, tunggu apalagi? Coba dan buktikan sendiri! (AT)

Liberty, Bikin Mujiono Jatuh Hati

Bagi Mujiono, ini merupakan pengalaman pertamanya bertanam Liberty, bunga kol hibrida produksi PT BISI International, Tbk.. Bagi petani asal Desa Wonokerto, Kecamatan Plemahan, Kediri, Jawa Timur itu, bunga kol menjadi salah satu sayuran favorit dalam usaha taninya.

Meskipun baru pertama kalinya tanam, Mas Muji menanam Liberty cukup banyak, 11.300 tanaman. Bahkan, dia juga menanam lagi sekitar 10.000 tanaman di petak lahan yang berbeda.

“Saya ingin membuktikan sendiri bagaimana Liberty ini,” terangnya.

Menurut Mas Muji, dari awal tumbuh performa tanamannya itu sudah meyakinkan. Bahkan saat di awal tumbuh sempat terguyur hujan deras hingga tergenang, tanamannya masih bertahan dengan baik.

“Tumbuhnya bagus, seragam. Perawatannya mudah dan daunnya tidak mudah terkena cacar dan busuk lunak,” terang Mas Muji saat ditemui Abdi Tani di lahannya.

Lantaran lebih tahan penyakit, Mas Muji hanya melakukan penyemprotan pestisida seminggu sekali. Padahal kondisi lingkungan sering hujan, yang biasanya membutuhkan penyemprotan seminggu dua kali.

Genjah dan Disukai Pasar

Bagi Mas Muji, selain tidak rewel perawatannya, bunga kol Liberty yang ditanamnya itu juga lebih cepat panen atau genjah. Sehingga ia bisa lebih cepat mendapatkan hasil sekaligus menghemat biaya perawatan.

“Ini umur 45 hari sudah bisa mulai dipanen. Yang lain biasanya umur 60 baru dipanen,” ujarnya.

Menurutnya, bunga Liberty juga memiliki karakter yang lebih disukai pasar. Sehingga lebih mudah menjualnya. “Bentuk bunganya bagus, warnanya kuning. Bunga seperti ini yang disukai pedagang. Jadi pemasarannya lebih mudah,” katanya.

Hal itu juga dibenarkan Pak Solek, pedagang sayuran dari Desa Ploso Lor, Kecamatan Plosoklaten, Kediri. Menurutnya, bunga kol yang berwarna kuning memang lebih diminati pasar. Karena, lebih aman dan tahan simpan.

“Bunga kol yang warna putih kurang disukai, karena kalau kena gesekan saat pengangkutan warnanya berubah. Dan jika saat panen kondisinya tidak benar-benar kering akan mudah busuk. Sementara kalau bunga kol kuning itu lebih aman dan warnanya tidak mudah berubah,” jelas Pak Solek.

Ukuran bunganya sendiri, kata Pak Solek, juga sudah pas. “Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Kalau kebesaran sulit jualnya. Liberty ini bagus, ukurannya pas. Cocok untuk kirim Jakarta,” terangnya.

Batangnya sendiri juga besar dan tidak panjang dengan daun yang lebat/banyak. Menurut Pak Solek, hal itu lebih memudahkan pedagang sekaligus menguntungkan petani. Mudah bagi pedagang karena daunnya bisa digunakan untuk menutupi keseluruhan bagian bunga saat pengiriman. “Kalau bagi petani keuntungannya menjadi lebih bobot,” katanya.

Hal itu seperti yang dirasakan Mas Muji. Dari 11.300 tanaman, ia mendapatkan hasil panen Sebanyak 4,5 ton. Dengan harga jual rata-rata Rp5.000/kg, ia bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp22,5 juta.

Biaya tanamnya sendiri, kata Mas Muji, tidak lebih dari Rp7 juta. Sehingga ia berhasil mengantongi hasil bersih Rp15,5 juta. Penasaran? Yuk, cobain! (AT)

Di Serang, CROWN Perawatan Minimum Hasil Maksimum

Bagi Enjat Sudrajat, ini merupakan kedua kalinya menanam Crown. Paria hibrida produksi PT BISI International, Tbk. (PT BISI) itu telah membuatnya ketagihan. Perawatan yang mudah dengan hasil panen melimpah menjadi alasan utama Kang Enjat ketagihan dengan paria itu.

“Paria jenis Crown ini yang dicari petani. Hasilnya sangat memuaskan,” ujar Kang Enjat.

Menurut petani sekaligus pedagang sayuran asal Desa Sukarame, Kecamatan Cikeusal, Serang, Banten itu, hasil panen Crown memang membuatnya puas. Dari seribu tanaman yang ditanamnya, total ia bisa memanen sebanyak 4,5 ton, atau per tanaman bisa menghasilkan 4,5 kilogram.

“Padahal perawatannya seadanya. Hampir tidak pernah dipupuk, hanya mengandalkan sisa pupuk dari tanaman sebelumnya (tanaman melon-red.),” terang Kang Enjat.

Bahkan, lanjut Kang Enjat, untuk penyemprotan atau pencegahan serangan hama penyakit juga hanya beberapa kali saja. Padahal, biasanya ia selalu melakukan penyemprotan seminggu dua kali.

“Karena itulah saya tanam Crown lagi. Sudah terbukti hasilnya, perawatan minimum hasilnya maksimum,” katanya.

Kang Enjat makin sumringah saat hasil panen melimpahnya itu dibarengi dengan harga jual yang bagus. Hingga panenan habis, 15 kali panen, ia mendapatkan harga jual rata-rata Rp5.000/kg. Sehingga, dengan hasil panen 4,5 ton itu, ia bisa meraup penghasilan hingga Rp22 juta. Lantaran irit biaya tanam, tidak lebih dari Rp3 juta, maka Kang Enjat pun bisa mengantongi keuntungan bersih lebih dari Rp19 juta.

Selain perawatan mudah dan hasil yang melimpah, Kang Enjat juga menyukai Crown karena karakter buahnya. Menurutnya, warna dan ukurannya sudah ideal (1 kg berisi 3 buah), sesuai keinginan pasar.

“Hijaunya masuk, besar buahnya masuk, dan umur 37 hari sudah bisa panen. Kebetulan saya juga pedagang di pasar (Pasar Cikeusal-red.). Ketika saya tawarkan ke pelanggan, buahnya bisa diterima dengan baik,” jelasnya.

Pada penanaman yang kedua kalinya, Kang Enjat menanam Crown lebih banyak, tidak kurang dari 1.500 tanaman atau 30 bungkus benih. “Saat ini sudah panen yang kedelapan. Alhamdulillah sudah dapat tiga ton. Tiap kali panen rata-rata bisa mendapatkan 375 kilogram. Kondisi tanamannya sendiri masih bagus dan calon buahnya banyak,” ujarnya.

Sementara itu, Dewi Ratnawati, pemulia tanaman paria PT BISI, menyebutkan, dengan menanam Crown petani maupun pedagang bisa lebih diuntungkan. Karena, buahnya terbilang keras. Sehingga lebih tahan serangan hama lalat buah dan juga lebih tahan simpan.

“Pada kondisi ruang, daya simpannya bisa sampai tujuh hari. Asalkan panen buahnya pada umur maksimal, tidak terlalu muda,” terang Dewi.

Tanamannya, lanjut Dewi, juga tahan penyakit kresek (downy mildew) yang banyak menyerang di musim hujan. “Jadi kalau ditanam di bulan-bulan basah Crown lebih tahan,” ujarnya.

Lantaran itulah, kata Dewi, Crown termasuk varietas paria hibrida yang bandel dan tahan banting di segala musim. “Ditanam di musim hujan saja bagus, apalagi di musim kemarau,” tegasnya. (Fahmi Auladi/AT)

Saat Apel Terusik Kutu Sisik

Kutu sisik atau Diaspidiotus perniciosus menjadi salah satu hama utama pada tanaman apel. Hama tersebut pernah membuat jutaan tanaman apel di Kota Batu rusak parah hingga menurunkan produktivitas secara signifikan.

Tahun ini, intensitas serangannya diakui petani apel di Batu dan Malang juga masih cukup parah, terutama saat memasuki musim penghujan. Seperti yang disampaikan oleh Imam Sodikin, salah satu petani apel di Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Malang, Jawa Timur.

“Kutu sisik masih menjadi masalah utama petani apel, utamanya saat musim kemarau. Bahkan akhir-akhir ini serangannya cukup parah,” terang Imam atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Kunting.

Menurut Pak Kunting, pada tingkat serangan yang parah, semua bagian tanaman apel yang ditanamnya tidak luput dari serangan hama utama apel tersebut. Daun menguning, rontok, dan tunas yang ada tidak mampu berkembang. Jika menyerang pangkal buah, maka buah apel akan rontok.

“Kalau serangannya parah, bunga dan buah juga terserang. Buah yang terserang akan ada bintik-bintik pada kulitnya, dan lama kelamaan akan membusuk. Ranting-ranting tanaman juga akan mengering semua. Jika dibiarkan, tanaman akan mati,” ujarnya.

Hama tersebut memang sangat mudah menyebar, dan sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kutu sisik menjadi salah satu hama apel yang sulit dikendalikan. Pasalnya, hama tersebut memiliki tingkat perkembangan populasi yang tinggi, terutama pada saat musim kemarau.

Menurut Parry-Jones dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “Bionomics and Ecology of Red Scale in Southern Rhodesia”, populasi kutu sisik tertinggi terjadi pada saat musim panas. Dimana induk betinanya bisa menghasilkan 7 crawler atau larva kutu instar awal per hari. Sementara pada saat musim dingin, populasinya jauh berkurang, induk betina kutu sisik hanya menghasilkan 1 crawler per hari.

Selain pada tanaman apel, kutu sisik juga hidup pada beberapa tanaman perkebunan, seperti jeruk, kelapa, kakao, kapas, dan murbei. Sehingga, wajar jika populasinya tergolong tinggi.

 

Cuci Hama

Sebagai petani yang sudah 12 tahun menggeluti tanaman apel, Pak Kunting cukup hafal dengan OPT yang biasa menyerang tanamannya. Termasuk dengan serangan kutu sisik tersebut.

Untuk mengantisipasi dan mengendalikan serangan hama dan penyakit, yang salah satunya kutu sisik, Pak Kunting selalu melakukan “cuci hama” sesaat setelah tanaman apelnya dirompes atau digunduli daunnya.

Menurut Pak Kunting, selama cuci hama itu, ia menggunakan campuran insektisida Multitomil 40SP yang berbahan aktif Metomil 40% dengan insektisida Buzzer 500EC yang berbahan aktif Profenofos 500 g/L.

“Setelah dua kali cuci hama dengan menyemprotkan campuran Multitomil dan Buzzer ke seluruh bagian tanaman, efeknya langsung kelihatan. Serangannya berhenti dan tanamannya bisa kembali bertunas,” ujar Pak Kunting.

Untuk keperluan cuci hama itu, Pak Kunting menggunakan Multitomil 40SP dan Buzzer 500EC sesuai dosis anjuran. “Untuk dua drum (400 L), Multitomil-nya sebanyak 500 gram. Sementara Buzzer sebanyak 500 ml,” terangnya.

 

Sekedar informasi, cuci hama merupakan istilah perlakuan pestisida pada tanaman apel saat tanaman selesai dirompes daunnya hingga tanaman kembali bertunas. Tujuan utamanya adalah mengantisipasi dan mengendalikan serangan organisme pengganggu tanaman, baik hama maupun penyakit.

“Penyemprotan (pestisida) selama cuci hama itu biasanya dua kali. Antara penyemprotan pertama dan kedua selisihnya satu minggu,” ujar Pak Kunting.

Setelah tanaman apel kembali bertunas pasca cuci hama, perlindungan tanaman terus dilakukan dengan aplikasi pestisida yang tepat dan bijaksana. “Dosisnya lebih rendah dibanding saat cuci hama,” jelas Pak Kunting.

Sementara menurut Ali Mashari, Pesticide Product Development PT Multi Sarana Indotani, kombinasi antara insektisida kontak Buzzer 500EC dengan insektisida kontak sistemik Multitomil 40SP memang efektif untuk mengendalikan serangan kutu sisik pada tanaman apel.

“Gabungan dua insektisida tersebut menjadikan pengendalian hama kutu sisik menjadi lebih efektif. Bahan aktifnya mampu menembus lapisan perisai pelindung yang ada pada tubuh kutu tersebut,” terang Ali. (AT)

BISI 99, Mutiara Kuning Pemikat Hati

Perkembangan jagung hibrida super BISI 99 di pintu gerbang Sumatera masih mendapat respon yang baik dari berbagai kalangan, baik itu petani, pedagang, maupun pabrik pakan. Di kalangan petani, jagung produksi PT BISI International, Tbk. itu diminati utamanya karena lebih tahan penyakit, yaitu: bulai, bercak daun, hawar daun, dan karat daun. Sementara bagi pedagang dan pabrik pakan ternak, jagung tersebut disukai karena hasil panennya memiliki kadar air yang rendah dan berkualitas.

Seperti yang disampaikan oleh Darman, petani jagung dari Desa Kerawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Lampung. Meskipun baru pertama kalinya menanam BISI 99, ia dengan mantap akan kembali menanamnya di musim tanam berikutnya. Ketahanan terhadap penyakit menjadi alasan utamanya.

Menurut Darman, jagung tersebut memiliki performa yang lebih bagus, terutama dalam hal ketahanan terhadap serangan penyakit yang dipicu oleh jamur, seperti bulai dan hawar daun. Pengalaman tanam perdana menjadi pembuktian baginya terkait performa BISI 99 dari awal tanam hingga panen.

Sementara bagi Hendra, petani jagung yang juga dari Desa Kerawangsari, selain terbukti tahan terhadap penyakit bulai dan hawar daun, BISI 99 juga terbukti aman dari serangan penyakit mati gadis yang banyak menyerang pada pertanaman jagung yang berumur 60-75 HST. Pada tanaman jagung yang tidak tahan, tanaman akan mati lebih dini pada rentang waktu tersebut. Sehingga tanaman gagal berbuah yang berarti petani akan gagal panen.

Menurut Hendra, dengan ketahanan yang bagus terhadap serangan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri itu, maka BISI 99 menjadi salah satu alternatif pilihan yang lebih baik bagi petani di Natar dalam bercocok tanam jagung.

Biji Merah Cerah

Lantaran lebih tahan penyakit yang dipicu oleh jamur, maka hal itu berdampak pada kualitas hasil panen. Warna biji BISI 99 menjadi lebih bersih dengan warna merah cerah. Dalam kajian teknisnya, biji jagung dengan tipikal seperti itu biasanya memiliki kadar air yang cukup rendah pada saat panen. Dengan demikian resiko biji jagung terkontaminasi toksin menjadi lebih rendah karena kondisi biji yang sudah cukup kering setelah dipanen.

Hal itulah yang menjadikan hasil panen BISI 99 disukai pedagang dan pabrik pakan ternak. Dengan hanya melihat dan memegang tongkol yang dipanen petani, para pedagang di Natar bisa memastikan bagaimana kualitas dan kadar air biji jagung BISI 99. Pedagang memastikan, sesaat setelah dipanen kadar air bijinya sudah di bawah 30%, atau sekitar 28%. Sehingga memudahkan pengelolaan pascapanennya sebelum dikirim ke pabrik pakan ternak.

Menurut Darman, warna biji yang merah cerah juga menandakan bahwa jagung tersebut memiliki rendemen yang tinggi. Jagung BISI 99 miliknya yang dipanen pada umur 103 HST memiliki rendemen 82%. Hal itu didasarkan pada hasil pengambilan sampel 2 kg jagung gelondong yang setelah dipipil dihasilkan 1,64 kg pipilan kering panen.

Merah, cerah, dan bersih, itulah BISI 99. Mutiara kuning, sang pemikat hati. (M. Haris Sukamto)

Corona 402 di Bumi Celebes

Lerry sudah kedua kalinya ini menanam tomat hibrida Corona 402. Hasil panen musim sebelumnya telah membuatnya jatuh cinta pada varietas tomat terbaru dari PT BISI International, Tbk. itu.

“Dari satu bungkus benih, saya bisa dapat hasil 150 kas (peti kayu-red.), bahkan lebih,” ujar petani asal Desa Tondegesan, Kecamatan Kawangkoang, Minahasa, Sulawesi Utara tersebut. Satu kas beratnya sekitar 20 hingga 25 kg.

Tidak hanya sekedar melimpah, namun kualitas buah Corona 402 juga berbeda. Menurut Lerry, tomat tersebut memiliki buah yang lebih berbobot dan keras. Daging buahnya lebih tebal dan padat. “Meskipun sudah merah, buahnya tetap keras. Jadi sangat cocok untuk pengiriman jarak jauh,” kata Lerry.

Hal yang sama juga disampaikan Apolos Ponga, petani dari Desa Basagon Jaya, Kecamatan Malino, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tomat Corona 402 yang ditanamnya dengan sistem 100% organik memberikan hasil yang memuaskan. Meskipun baru tiga kali dipanen, hasilnya sudah cukup banyak. Dari sekitar 10.000 tanaman, ia mendapatkan hasil panen tidak kurang dari 800 kg.

“Hasil panennya banyak, pertumbuhannya stabil. Buahnya bagus, keras, dan tahan simpan. Disukai pasar di Tolitoli,” kata Ponga.

Sementara itu, I Made Sunastra, petani sayuran dari Desa Landono II, Kecamatan Landono, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, mengatakan, tingginya hasil Corona 402 itu didukung oleh performa tanamannya yang bagus. Menurutnya, tomat tersebut cocok ditanam di segala musim, baik hujan ataupun kemarau.

“Corona 402 sangat cocok ditanam di musim hujan dan musim kemarau. Tanamannya lebih tahan penyakit kresek dan virus. Buahnya lebat. Daging buahnya tebal, sangat cocok untuk pengiriman jarak jauh,” terang Made.

Rajuddin, petani dari Desa Rosoan, Kecamatan Enrekang, Enrekang, Sulawesi Selatan, juga membenarkan. Tanaman tomat Corona 402 yang ditanamnya sendiri juga menunjukkan performa optimal meskipun ditanam saat musim hujan.

“Tanamannya tahan penyakit layu dan juga virus. Buahnya lebat dan keras. Pedagang menyukai tomat ini. Karena, lebih tahan untuk pengiriman jarak jauh,” ujar Rajuddin yang menanam Corona 402 sebanyak 1.500 tanaman dan sudah menghasilkan 760 kg dari empat kali panenan. Yuk, tunggu apalagi? Buruan tanam sekarang dan buktikan sendiri hasilnya! (AT)

Crumble 100EC, Hentikan Kerakusan Ulat FAW

Sai’in nyaris putus asa saat tanaman jagungnya yang baru berumur sebulan nyaris habis diserang ulat gerayak jagung atau fall armyworm (FAW) Spodoptera frugiperda. Pasalnya, tiga kali semprot dengan insektisida yang biasa ia gunakan sama sekali tidak memberikan hasil, serangannya terus berlanjut.

“Serangannya itu parah sekali. Hampir semuanya diserang. Tanamannya itu hanya tinggal tulang daunnya,” ujar petani dari Dusun Sumberdadi, Desa Ngampungan, Kecamatan Bareng, Jombang, Jawa Timur.

Kegalauan Ketua Kelompok Tani Sumberdadi itu akhirnya terobati setelah mengenal insektisida Crumble 100EC. Dalam sekali semprot, insektisida berbahan aktif Emamektin Benzoat itu langsung menghentikan serangan ulat asal Amerika itu.

Jagung kulo slamet mas wonten (Crumble 100EC) niku. Lek mboten wonten niku nggih mboten panen (Jagung saya selamat ada Crumble 100EC itu. Kalau tidak ada itu ya tidak bisa panen-red.),” terang Sai’in.

Menurut Sai’in, sesaat setelah disemprot, ulat langsung berguguran. Tiga hari kemudian daun jagung mulai kembali tumbuh. “Alhamdulillah serangannya bisa langsung berhenti. Tanamannya kembali pulih dan tidak sampai gagal panen,” ungkap Sai’in yang memiliki lahan tanam jagung seluas 3,5 ha itu.

Hal yang sama juga dialami Basuki, petani jagung sekaligus Ketua Kelompok Tani Penampan, Desa Kedungpapar, Kecamatan Sumobito, Jombang. “Baru kali ini serangan FAW ada di daerah kami, dan cukup parah serangannya,” terangnya.

Setelah sempat disemprot dengan beberapa insektisida tapi tidak kunjung ada hasilnya, Basuki akhirnya mencoba menggunakan Crumble 100EC. Hanya sekali aplikasi, serangannya langsung berhenti.

“Untuk memaksimalkan hasil, saya semprot sekali lagi. Jadi Crumble 100EC ini saya semprotkan dua kali, yaitu saat umur 15 dan 30 hari. Benar-benar bagus hasilnya, serangannya itu langsung ‘set’ berhenti,” ujar Basuki.

Selang lima hari setelah semprot, tanaman jagung miliki Basuki pun kembali tumbuh normal. Daunnya kembali muncul, yang menandakan serangan ulat FAW benar-benar berhenti.

“Sekarang tanamannya sudah berumur 70 hari. Sudah aman dari ulat FAW,” ujar Basuki.

Lantas, berapa dosis yang digunakan? Menurut Basuki maupun Sai’in, dosisnya cukup ekonomis, hanya 1 tutup botol (10 ml) per tangki ukuran 15 L.

“Untuk lahan seluas 2,1 hektar, saya gunakan 3 botol (kemasan 100 ml) Crumble 100EC, atau 30 tangki untuk sekali semprot,” terang Basuki.

Sementara menurut Ali Mashari, keefektifan insektisida Crumble 100EC dalam mengatasi serangan FAW pada tanaman jagung terletak pada cara kerja bahan aktifnya. “Yang membedakan dengan insektisida lainnya adalah Crumble 100EC ini cara kerjanya sistemik lokal atau memiliki sifat translaminer. Jadi bahan aktifnya itu bisa menembus lapisan daun bagian dalam. Sehingga, meskipun ulat bersembunyi di bagian dalam daun, tetap bisa terkena efek insektisida ini,” terangnya. (AT)

BISI 321, Tongkoleee … Gedhene…. Pooolll…..!!!

“BISI 321, Tongkolee … Gedhene…. Pooolll…..!!” Begitulah statement yang pendek dan jelas untuk menggambarkan BISI 321 atau yang juga banyak disebut Jagung SIMETAL.  Karena bagaimanapun, dalam budidaya jagung yang dicari adalah hasilnya, dan hasil itu selalu identik dengan performa tongkolnya. Meskipun tongkol bukanlah segalanya dalam menghitung nilai ekonomis dalam budidaya tanaman, khususnya jagung.

Mengapa? Karena ada faktor lain yang juga mempengaruhi. Misalnya harga, biaya produksi, dan variabel-variabel lain yang turut menjadi penentu dan berpengaruh dalam penghitungan nilai ekonomis suatu komoditas.

Namun demikian, jika berbicara tentang jagung hibrida super BISI 321, maka tidak akan pernah bisa lepas dari karakter yang melekat pada varietas tersebut. Mulai dari tongkolnya yang besar, warna biji cerah, berbobot, hingga produksi dan rendemen yang tinggi. Hal tersebut pada akhirnya membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa BISI 321 menjadi varietas jagung yang secara teknis budidaya dan produktivitas lebih baik dibanding varietas jagung sejenis lainnya.

Seperti dalam rangkaian acara panen raya BISI 321 di Desa Sumbersari, Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, Lampung (1/10/2020). Jagung tersebut menunjukkan performa dan hasil yang sangat mengagumkan. Mengingat saat awal tanam jagung itu mengalami banyak kendala teknis di lahan. Mulai dari lahan bekas padi yang masih banyak genangan hingga banyaknya rumput yang tumbuh di lahan tersebut.

Kardiyo, si pemilik lahan, awalnya juga merasa kurang yakin dengan kondisi lahannya itu untuk ditanami jagung Simetal BISI 321. Namun seiring perkembangan waktu, jagung yang ditanamnya itu mampu menunjukkan performa yang menggembirakan. Tanamannya tumbuh dengan batang yang besar, kokoh, dan bertongkol besar. Ia pun mengaku puas dan pada musim tanam jagung akhir tahun ini ia akan menanam kembali BISI 321 di lahan yang lebih luas.

Demikian halnya dengan Rudi Hartono, petani jagung dari Desa Kemukus, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Meskipun baru pertama kalinya menanam BISI 321, ia mengaku langsung jatuh cinta dengan si tongkol besar itu. Pasalnya, ia menanam jagung tersebut di lahan berpasir dan cukup lama tidak terguyur hujan, Ketapang memang terkenal dengan kondisi lahannya yang berpasir.

Setelah hampir tiga minggu tidak terkena air hujan, kondisi BISI 321 milik Rudi tersebut masih terlihat tumbuh subur dan segar, bahkan tongkol yang terbentuk juga normal dan besar-besar. Padahal, tanaman jagung lain di sekitarnya banyak yang layu akibat kekeringan.

Sementara itu Subandi, petani jagung di Desa Bangunsari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, juga mengaku puas dengan performa BISI 321. Ditanam di kawasan pasang surut dan sempat tergenang beberapa hari saat benih baru ditanam, jagung tersebut ternyata mampu bertahan dan tumbuh dengan baik. Bahkan, hingga panen menunjukkan performa yang membanggakan. Tanamannya tumbuh normal dengan tongkol yang besar dan seragam.

Keunggulan BISI 321 juga dirasakan oleh Sukarman, petani jagung dari Desa Gunung Sugih Kecil, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Meskipun relatif kurang terurus dan serangan ulat gerayak FAW sedang banyak menyerang di wilayahnya, tanamannya mampu bertahan dan tumbuh normal dengan prosentase serangan ulat yang kecil. Ketahanan BISI 321 terhadap serangan penyakit bulai juga terbukti di lahan Sukarman, yang notabene juga menjadi daerah yang rawan serangan penyakit utama tanaman jagung itu.

M. Yusron Munir juga berbagi cerita menarik terkait BISI 321 yang ditanamnya. Petani asal Desa Sambikarto, Kecamatan Sekampung, Lampung Timur itu menanam BISI 321 di musim kemarau. Meskipun ditanam dalam kondisi kering, jagung tersebut tetap tumbuh subur dengan batang yang besar dan daun yang lebar. Yang menarik, hampir semua tanamannya itu bertongkol dua dengan ukuran yang sama besar. Kini, ia telah menyiapkan lahan seluas 1,5 ha untuk ditanami BISI 321 pada musim tanam selanjutnya. (M. Haris Sukamto)

Hujan, Dataran Tinggi, dan Glory

Musim hujan, dataran tinggi, dan jagung manis Glory menjadi tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Datangnya musim hujan di kawasan dataran tinggi menjadi awal penanaman jagung manis, terutama di lahan tadah hujan.

Lantas, apa hubungannya dengan Glory? Jagung manis hibrida produksi PT BISI International, Tbk. (BISI) itu menjadi salah satu andalan bagi para petani dataran tinggi yang hendak bercocok tanam jagung manis di musim hujan.

Menurut Zainuri, Manager Pengembangan Produk Benih Sayuran BISI, Glory menjadi salah satu varietas jagung manis dari BISI yang sangat adaptif dan sesuai untuk dikembangkan di kawasan dataran tinggi, terlebih saat musim hujan.

“Glory memiliki karakter yang sesuai untuk ditanam di kawasan dataran tinggi. Salah satunya adalah postur tanamannya yang pendek dan kokoh, sehingga tidak mudah roboh tertiup angin,” ujarnya.

Meskipun tanamannya pendek, lanjut Zainuri, tongkol yang dihasilkannya tergolong besar dan seragam. Panjang tongkol jagung manis ini sekitar 21,5 cm dengan diameter (tanpa klobot) ±5,7 cm.

Seperti yang dibuktikan oleh Dedi Rusandi, petani jagung manis di Kampung Cijeruk, Desa Cijeruk, Pamulihan, Sumedang, Jawa Barat. “Tongkolnya besar, cocok dengan permintaan pasar saat ini yang menghendaki tongkol yang besar,” terang Dedi.

Menurut Dedi, dari satu bungkus benih Glory (250 g), rata-rata ia bisa mendapatkan hasil lima kuintal. “Tidak hanya sekedar besar, bijinya juga penuh hingga ujung tongkol. Ukurannya sangat seragam, dan panennya bisa lebih cepat dari jagung manis lain. Di umur 75 hari setelah tanam, Glory sudah bisa dipanen. “Kalau yang lain, rata-rata umur 90 baru mulai panen,” kata Dedi.

Selain itu, tanaman Glory juga teruji dan terbukti lebih tahan penyakit khas dataran tinggi, yaitu kresek atau hawar daun (Helminthosporium turcicum). Menurut Zainuri, hasil penanaman oleh para petani di sejumlah sentra jagung manis menunjukkan bahwa Glory memang lebih tahan penyakit tersebut.

Menurut Zainuri, salah satu penyakit utama tanaman jagung tersebut memang banyak menyerang saat musim hujan. Oleh karena itu, dengan menggunakan varietas yang secara genetis lebih tahan, maka petani menjadi lebih mudah dan tenang saat bercocok tanam jagung manis di musim hujan.

“Penggunaan varietas yang tahan, seperti Glory, menjadi solusi terbaik dan ekonomis bagi petani yang menanam jagung manis di musim hujan. Karena, jika dibiarkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh hawar daun bisa mengakibatkan tanaman mati dan gagal panen,” terang Zainuri. (AT)

Memanen Corona 402 di Bandungan

Pak Sakur tampak sumringah saat tomat Corona 402 yang ditanamnya sudah memasuki masa panen. Pasalnya, hingga panenan kedelapan kalinya, dari 6.000 tanaman, ia sudah mendapatkan hasil tidak kurang dari 100 keranjang, atau sekitar 4 ton.

Menurut petani asal Desa Sumowono, Kecamatan Bandungan, Semarang, Jawa Tengah itu, tomatnya tersebut sebenarnya tidak dirawat sebagaimana mestinya. Dengan alasan harga komoditas sayuran saat ini yang sedang tidak bersahabat, Sakur memutuskan untuk merawat tomatnya itu lebih minimalis dari biasanya.

Untuk menghemat biaya perawatan, Pak Sakur sengaja mengurangi dosis pemupukannya. Jika biasanya saat tanam tomat ia melakukan tiga kali pemupukan, maka untuk tomat Corona 402 yang ia tanam hanya dipupuk dua kali. Untuk 6.000 tanaman, ia hanya menghabiskan 50 kg pupuk NPK, atau setengah dari dosis biasanya.

“Mulsa yang dipakai juga mulsa bekas yang sudah lebih dari setahun dipakai,” imbuhnya.

Meski begitu, pertumbuhan dan perkembangan tomat tersebut tetap optimal. Terlebih, Corona 402 juga memiliki ketahanan terhadap serangan penyakit, khususnya penyakit yang dipicu oleh virus Gemini yang menyebabkan daun tomat menguning dan keriting. Sehingga, perawatannya pun menjadi lebih mudah dan ekonomis.

Buah menjadi daya tarik tersendiri bagi Pak Sakur. Sebagai tomat tipe semideterminate, Corona 402 memiliki ciri khas yang lebih menguntungkan, yaitu percabangan dan tandan buah yang banyak. Sehingga hasil panennya juga melimpah.

Di samping itu, karakter buahnya juga berbeda. Menurut Pak Sakur, buah tomat tersebut lebih padat dan bobot. Daging buahnya juga lebih tebal, sehingga lebih tahan simpan dan kuat untuk pengangkutan jarak jauh.

Hal itu juga dibenarkan oleh pedagang yang memborong tomatnya tersebut. Pedagang menginginkan buah tomat yang lebih tahan simpan, terlebih untuk pengiriman jarak jauh hingga luar pulau. Seperti hasil panen Corona 402 milik Pak Sakur tersebut yang semuanya untuk dikirim ke pasar di Kalimantan.

Sahabat BISI, penasaran? Yuk, tanam sekarang! (AT)

Dahsyatnya Simetal Di Lahan Pasang Surut Banyuasin

Pak Subandi memang baru pertama kali tanam jagung hibrida Simetal BISI 321 di lahan pasang surut miliknya di Desa Bangun Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin.  Tanggal 6 Oktober 2020 lalu jagung “kekinian” produksi PT BISI International, Tbk itu panen dan berhasil meyakinkan si pemilik lahan pasang surut ini.

Dilahan 1 hektar pasang surut miliknya, Subandi menanam Simetal BISI 321 seluas 0,25 hektar dan disebelahnya ditanam jagung P32 dengan luasan yang sama 0,25 hektar.  Jarak tanam yang digunakan agak rapat, yaitu 65 x 20 cm.

Panen dilakukan pada umur 125 hari setelah tanam, agar jagung mendapat kering yang cukup supaya bisa dipipil.  Hasil panen pipil basah yang didapat Simetal sebanyak 41 karung dan P32 sebanyak 27 karung.

Setelah dijemur 2 hari, jagung sudah kering dan siap dijual. Hasil pipil kering yang didapat untuk Simetal BISI 321 sebanyak 2.867 kg dan P32 sebanyak 2.059 kg.

Hasil panen Simetal BISI 321 yang lebih baik ini membuat Subandi merasa senang dan puas sekali. “Tongkole gedine pool dan hasile Juooos” ungkapnya dengan riang. Subandi sudah merencanakan musim depan akan tanam lagi dan banyak sekali teman dan tetangga yang melihat hasilnya akan ikut menanam juga. “Jadi harap disiapkan benih BISI 32I untuk musim tanam depan ya” katanya.

Keberhasilan panennya itu seakan menjadi hadiah luar biasa dari kerja keras Subandi menghadapi beberapa tantangan selama menanam jagung hibrida Simetal ini.  Di awal bercocok tanam, ia sudah mendapatkan tantangan tersendiri. Benih Simetal yang baru saja ditanamnya diguyur hujan lebat selama tiga hari berturut-turut. Subandi pun dibuat khawatir dengan nasib benih yang sudah terlanjur ditanamnya itu.

Ternyata, benih jagungnya itu masih mampu bertahan dan tumbuh dengan baik. Dari pengalaman itulah Subandi mengaku langsung yakin dengan performa jagung baru tersebut. “Karena, meskipun sempat tergenang selama tiga hari, tanamannya masih mampu tumbuh dengan baik,” jelasnya.

Menurut Agus Purwanto, Marketing Eksekutif BISI area Sumatera Selatan, salah satu keistimewaan jagung hibrida super Simetal BISI 321 adalah daya adaptasinya yang bagus di berbagai kondisi lingkungan, termasuk salah satunya di lahan pasang surut.

“Meski saat awal tanam mengalami kondisi kritis karena diguyur hujan tiga hari terus menerus, pertumbuhannya masih sangat bagus. Tanamannya tahan (kelebihan) air, tahan penyakit, utamanya penyakit bulai,” terang Agus.

Rendemen Tinggi, Disukai Pedagang

Selain tetap tangguh di tengah guyuran hujan lahan pasang surut, hasil panen Simetal juga diakui berbeda. Jagung ini terbukti memiliki rendemen yang tinggi, lebih dari 80%.

Hal itu dibuktikan dengan pengambilan secara acak tiga tongkol Simetal hasil panenan di lahan Subandi. Dari tiga tongkol tersebut (tanpa klobot) beratnya mencapai 1 kg. Kemudian, setelah dipipil, total berat bijinya mencapai 0,81 kg, atau hanya susut 200 gram.

Menurut Agus, tingginya rendemen dan hasil panen tersebut sangat ditentukan oleh performa tongkol Simetal. Selain besar, ukurannya juga sangat seragam. “Bijinya muput atau penuh hingga ujung tongkol. Jika dipatahkan, terlihat ukuran janggelnya yang kecil. Jadi wajar jika rendemennya tinggi lebih dari 80% dan hasil panennya sangat maksimal,” terangnya.

Di samping itu, lanjut Agus, warna bijinya juga lebih cerah dan mengkilat. Hal itu menandakan kadar airnya rendah, sehingga kualitas bijinya lebih bagus. “Warnanya yang cerah ini disukai pedagang. Karena, jika warna bijinya cerah dan mengkilat, maka hasilnya juga maksimal. Kadar airnya rendah dan lebih bobot,” ujarnya. (AT)

Persada 35 Dengan Daging Tebalnya

Saat hendak membeli sayuran kacang panjang, warna dan kepadatan polong menjadi perhatian utama. Konsumen tentu lebih senang dengan kacang panjang yang warna polongnya hijau segar dan padat, alias tidak ‘gembos’ istilah jawanya. Semua itu sudah ada di Persada 35.

Kacang panjang unggul dari PT BISI International, Tbk. (BISI) itu memang sedang menjadi kegemaran baru bagi para petani. Seperti yang disampaikan Usman, petani sayur dari Desa Sidayu, Kecamatan Binangun, Cilacap, Jawa Tengah. Menurutnya, Persada 35 sangat berbeda dengan kacang panjang lain yang selama ini biasa ia tanam.

“Persada (35) jadi rebutan (karena) lebih panjang dan bobot. Dibanding dengan yang lain jauh bedanya,” ujar Usman.

Usman memang sengaja “menarungkan” Persada 35 dengan kacang panjang lain. “Ternyata Persada (35) memang lebih bagus dan unggul,” lanjutnya.

Menurut Zainal, petani dari Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Jombang, Jawa Timur, polong Persada 35 bisa lebih bobot karena buahnya lebih tebal dan padat. “Tidak gembos (kempes-red.) polongnya,” katanya.

Dengan polong yang lebih padat dan berdaging tebal, daya simpan kacang panjang itu menjadi lebih lama. Menurut Zainal, jika diletakkan di tempat teduh, buah Persada 35 bisa tetap segar selama empat hari setelah dipetik.

Lantaran lebih bobot, lanjut Zainal, berat masing-masing ikatan polong (ikatan besar) hasil panen Persada 35 berkisar 15-17 kg atau 3-5 kg lebih berat dibanding ikatan kacang panjang lain.

Hal itu juga dibenarkan Hariyanto, petani dari Desa Susukan Rejo, Kecamatan Pohjentrek, Pasuruan, Jawa Timur. Menurutnya hasil panen Persada 35 memang lebih banyak dibanding kacang panjang lain. Dari sekitar 500 tanaman, total ia bisa mendapatkan hasil tidak kurang dari 1,5 ton, atau per tanaman mampu menghasilkan 2,5 kg.

“Sekali petik bisa dapat 40-60 kilogram. Kemarin sampai 25 kali petikan. Hasilnya lebih banyak,” ujar Hariyanto.

Pedagang sendiri, kata Zainal, juga lebih suka hasil panen Persada 35. Alasan utamanya adalah lebih tahan simpan. Ukurannya juga panjang dan seragam, sesuai selera pasar. “Panjangnya rata-rata 80 cm,” ujarnya.

Sementara itu, Pak Yat, petani kacang panjang di Desa Bakalan, Kecamatan Godang, Mojokerto, Jawa Timur, mengatakan, selain memiliki karakter buah atau polong yang unggul, kacang panjang yang bisa mulai dipanen pada umur 45 hari setelah tanam itu juga lebih tahan terhadap serangan virus Gemini yang menyebabkan daun kacang panjang keriting kuning dan gagal berproduksi.

“Yang membuat saya lebih senang dengan Persada 35 itu adalah tanamannya lebih tahan virus. Jadi saya bisa lebih enak, peliharanya mudah hasilnya melimpah,” ungkap Pak Yat.

Sahabat BISI, tunggu apalagi? Yuk, tanam Persada 35 sekarang! (AT)

Tanam Intani 602? Mudah Kok!

Abdul Kholiq memang baru pertama kalinya menanam Intani 602. Dengan kata lain, ini pengalaman pertamanya menanam padi hibrida produksi PT BISI International, Tbk. itu. Biasanya, saat menanam padi, ia hanya menggunakan padi biasa, bukan varietas hibrida.

Meskipun baru pertama kalinya tanam, petani asal Desa Mojokrapak, Tembelang, Jombang, Jawa Timur itu menyebut budidaya padi hibrida, khususnya Intani 602, sangat mudah. “Tidak susah. Ini cara tanam dan perawatannya saya samakan dengan padi-padi lokal (padi biasa) yang biasa saya tanam,” terang Kholiq yang juga menjadi petani mitra produksi benih PT BISI International, Tbk. itu.

Di lahan sawah seluas 370 ru atau sekitar 0,51 ha, Kholiq menanam Intani 602 sebanyak 10 kg. “Benihnya jauh lebih hemat dibanding padi lokal. Untuk lahan seluas hampir 400 ru ini hanya butuh 10 kg benih. Padahal biasanya kalau tanam padi lokal per 100 ru saja benihnya sebanyak 7-8 kilogram (28-32 kg/400 ru),” jelasnya.

 

Menurut Kholiq, ia memang hanya menanam 2 bibit padi per lubang tanam, sesuai anjuran penanaman Intani 602. Sehingga, kebutuhan benihnya pun bisa jauh lebih hemat. Jarak tanamnya juga yang biasa diterapkan pada padi biasa, yaitu 25 x 25 cm.

“Dengan hanya dua bibit per lubang tanam, jumlah anakannya bisa lebih banyak. Rata-rata 25 anakan per rumpun,” terangnya.

 

Hasil lebih banyak

Bagi Kholiq, selain mudah tanamnya, Intani 602 juga memiliki vigor tanaman yang lebih kuat dan bagus. “Tanaman (Intani 602) saya ini kan tanamnya terlambat. Tapi pertumbuhannya sudah bisa menyamai tanaman padi lokal. Banyak tetangga kanan kiri yang tanya, kok cepet? Mulai umur 30 hari itu sudah sangat jelas berbeda pertumbuhannya. Kelihatan lebih cepat dan anakannya muncul sangat banyak,” ujarnya.

 

Tidak hanya anakannya yang banyak, menurut Kholiq, malai Intani 602 juga lebih panjang dengan jumlah bulir yang lebih banyak dibanding padi biasa. “Per malainya rata-rata 280 bulir, dan itu bulir isi semua, bukan bulir hampa. Kalau padi lokal rata-rata hanya 180 bulir,” katanya.

Alhasil, Kholiq pun bisa mendapatkan hasil panen yang lebih banyak dari padi yang biasa ia tanam. Dipanen di usia 95 HST, dari lahan seluas 0,51 ha itu, ia bisa mendapatkan hasil sebanyak 3,7 ton gabah kering panen (GKP), atau setara 7,2 ton GKP per hektar.

 

hasil tersebut 30% lebih tinggi dibanding hasil panen padi biasa. “Biasanya, tiap 100 ru padi biasa dapatnya sekitar 7-8 kuintal GKP (sekitar 5,6 ton GKP per hektar),” jelasnya.

Meskipun harga benihnya lebih mahal dari padi biasa, kata Kholiq, hal itu tidak menjadi masalah. Pasalnya, hasil yang bisa didapatkannya jauh lebih banyak. Dari lahan seluas 370 ru (0,51 ha) itu, dengan harga gabah Rp5.000/kg, total ia mendapatkan hasil Rp18,5 juta, atau Rp4 juta lebih banyak dari hasil padi biasa untuk luasan lahan yang sama.

Jika dikonversikan ke satuan hektar, pendapatan hasil panen Intani 602 milik Kholiq tersebut mencapai Rp36 juta, atau Rp8 juta lebih banyak dari hasil padi biasa. Dengan selisih hasil sebanyak itu, harga benih yang lebih mahal tidak lagi menjadi persoalan.

“Tiap hektar lahan biaya benih padi hibrida Intani 602 sekitar Rp1,7 juta. Sementara padi biasa sekitar Rp375 ribu, atau Rp1,3 juta lebih banyak. Tapi dengan selisih hasil yang jauh lebih banyak, saya rasa harga benih yang lebih mahal itu bukan lagi hal yang berat bagi petani,” ujar Triono, Direktur PT BISI International, Tbk..

 

Hal itu juga diakui Kholiq. Harga benih yang lebih mahal tidak jadi masalah bagi dirinya. “Karena hasil panennya memang nyata lebih banyak dan kebutuhan benihnya juga minim (irit) sekali,” katanya.

Yang menarik, lanjutnya, meskipun sudah siap panen, daun bendera Intani 602 masih tetap hijau. “Tidak ada yang kering, dan tampak sehat semua. Pokoke nyenengne (pokoknya menyenangkan-red.),” ucapnya.

 

Tahan penyakit dan tahan roboh

Selain lebih banyak hasilnya, padi hibrida Intani 602 juga lebih tahan penyakit, terutama penyakit blas, hawar daun bakteri, dan virus kerdil rumput ataupun kerdil hampa. Hal itu dibuktikan sendiri oleh Kholiq. Dari awal tanam hingga akhir panen, tanamannya tidak ada mengalami masalah serangan hama penyakit.

“Aman. Tidak ada serangan penyakit ataupun hama. (Hama) penggerek yang biasanya menyerang juga tidak ada,” ujar Kholiq.

 

Di samping itu, lanjutnya, tanamannya juga lebih kokoh dan tahan roboh. “Kemarin itu angin kencang sekali. Tanaman padi yang sebelah utara (padi biasa) sudah banyak yang roboh. Saya sempat khawatir Intani 602 milik saya ini juga roboh. Ternyata tidak ada yang roboh,” terangnya.

Selama pertumbuhannya, Kholiq melakukan pemupukan seperti yang biasa dia lakukan saat tanam padi biasa. Hanya saja, ia menambahkan paket BOOM Padi yang diberikan saat tanamannya berumur 20 HST dan 35 HST.

BOOM Padi adalah paket pupuk dan pestisida khusus untuk tanaman padi. Paket tersebut terdiri dari: pupuk majemuk Multi Padi, fungisida Recor Plus 300EC, ZPT Bigest 40EC, dan perekat perata Besmor Padi 600SL.

Dengan aplikasi paket BOOM Padi, bisa meledakkan produksi padi dan meningkatkan kualitas hasil panen. Tanam padi hibrida Intani 602 pun menjadi lebih mudah. (AT)

BISI 321 “SIMETAL” Jagung Milenial

Sudah dua musim ini Haji Ali Imron menanam jagung hibrida super BISI 321 “Simetal”. Musim pertamanya saat kemarau tahun lalu dan yang kedua saat musim hujan tahun ini. Dua musim berbeda dilewatinya dengan hasil yang membuatnya sangat puas.

“Hasilnya luar biasa. Kemarau maupun hujan hasilnya tetap paling bagus dibanding jagung lain yang biasa saya tanam,” ujarnya saat ditemui di rumahnya yang ada di Desa Sumurmati, Sumberasih, Probolinggo, Jawa Timur.

Menurut Haji Ali, saat kemarau, dari satu kilogram benih Simetal, ia bisa mendapatkan hasil pipilan kering sebanyak enam kuintal.

 

“Semuanya unggul. Daya tumbuhnya bagus, selepannya juga bagus dan bersih, mudah dipipil. Saat dijemur juga cepat keringnya,” terang Haji Ali.

Tidak berbeda jauh saat ia menanam Simetal di musim hujan. Dari 14 kilogram benih yang ditanam, Haji Ali bisa mendapatkan 8,2 ton pipil kering. “Padahal itu kurang terawat. Sementara jagung lain yang lebih terawat, hasilnya hanya 6 ton (pipil kering). Ini memang jagung milenial, jagung yang memudahkan petani jagung. Jagung yang paling mengerti petani, “ tambahnya.

Sementara itu, Buari, petani jagung di Desa Mentor, Sumberasih, Probolinggo, juga menyampaikan hal yang sama terkait jagung Simetal yang ditanamnya. “Sejak awal tumbuh tanamannya sudah sangat menyenangkan, tampak subur sekali. Tak melarat rabetenna (tidak sulit perawatannya-red.),” ucapnya.

 

Buari sudah dua kalinya tanam Simetal. Dengan jarak tanam lebih rapat, 60×20 cm, dan tiap lubang tanam hanya berisi satu benih, menurutnya sejak awal pertumbuhan sudah bagus. “Aman dari penyakit bulai. (Penyakit) busuk batang juga tidak ada,” jelasnya.

Menurut Buari, hasil panen Simetal juga disukai pedagang. Karena, mudah keringnya, bobot, dan mudah dipipil. “Ditanam di luar musim (musim hujan-red.) hasilnya juga tetap bagus. Dari sebelas kilogram benih yang saya tanam, ditebas pedagang Rp16,5 juta. Biaya tanamnya sekitar Rp6 juta,” katanya.

Pokoke Simetal

Mustaqim, petani jagung di Desa Coban Blimbing, Wonorejo, Pasuruan, Jawa Timur sudah tiga kalinya tanam Simetal. Meskipun dua kali panenan terkena musibah angin kencang hingga merobohkan jagungnya yang siap dipanen, ia tetap kembali menanamnya.

 

“Karena memang bagus. Umurnya lebih pendek, ketahanan penyakitnya lebih kuat. Anti bulai,” terangnya.

Kali ini, Simetal miliknya berhasil dipanen tanpa roboh. Di umur 105 hari setelah tanam. Lima hari lebih cepat dari jagung lain yang biasa ia tanam.

“Jagungnya lebih bobot, rendemennya lebih tinggi, di atas 80 persen. Rata-rata dari sekilo benih itu bisa dapat lima kuintal pipil kering,” ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, jagung tersebut juga lebih tahan cekaman kekurangan maupun kelebihan air. “Hujan maupun kering tetap bagus. Benihnya juga lebih irit. Biasanya perlu 12 kilogram, Simetal ini cukup 10 kilogram saja untuk sekali tanam,” terangnya.

Masih dari Pasuruan, Sukiswadi memiliki cerita yang tidak jauh berbeda dengan Taqim. Petani dari Desa Wrati, Kejayan itu baru pertama kalinya tanam Simetal, dan mengaku langsung jatuh cinta. Enam belas kilogram benih Simetal sukses ia panen.

“Umur memang lebih pendek, 100 hari sudah bisa dipanen. Yang paling saya suka adalah tanamannya juga kuat di musim hujan. Aman dari busuk batang. Sekilo benih saya bisa dapat lima kuintal lebih pipil kering,” terang Kiswadi.

Menurut Kiswadi, jika sudah kuat di musim hujan, untuk tanam di musim kemarau akan jauh lebih mudah. “Artinya dengan Simetal saya bisa tanam jagung lebih mudah. Aman segala musim. Pokoke Simetal,” imbuhnya. (AT)

BISI 321, Menjawab Keinginan Petani

Kembali, PT BISI International, Tbk. menunjukkan komitmennya dalam memberikan sumbangsih bagi ketahanan pangan nasional. Yakni dengan merilis varietas baru jagung hibrida super yang merupakan hasil karya anak bangsa. Varietas baru tersebut diberi nama BISI 321 “Simetal”.

Jainudin, petani jagung asal Desa Suluh Suban, Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah, Lampung, menjadi salah satu petani yang mencoba sekaligus menguji keandalan Simetal. Tahun lalu, tepatnya 29 Nopember 2019, ia menanam Simetal dalam kondisi kekeringan lantaran hujan belum juga turun. Nyaris 20 hari tanamannya itu tanpa air. Meski begitu, tanamannya masih mampu tumbuh dengan baik.

Pasca kekeringan, Simetal kembali mendapatkan tantangan, yaitu munculnya serangan ulat gerayak FAW Spodoptera frugiperda yang menghebohkan dunia perjagungan seantero nusantara itu. Setelah beberapa kali dilakukan penyemprotan dengan insektisida Crumble 100EC yang dikombinasikan dengan insektisida biologi Turex WP, serangan ulat mematikan itu bisa diredam. Simetal pun aman dan kembali tumbuh optimal.

Setelah lolos dari dua masa kritis tersebut, kemudian di bulan Desember 2019 hingga Januari 2020 merupakan masa optimalnya Simetal. Hujan sudah mulai turun, pemupukan pun dilakukan. Sehingga tanaman Simetal milik Jainudin itu tumbuh subur dengan performa yang sangat meyakinkan.

“Kalau ada orang yang melihat tanaman BISI 321 yang saya tanam ini di awal pertumbuhan, pasti kaget, dan nggak percaya. Kok bisa seperti ini di masa pembungaan dan pengisian tongkol. Karena di awal tanam sudah banyak kendala yang dihadapi,” kata Jainudin.

Batang Kokoh dan Daun Hijau Gelap

Sebenarnya, bila sejak awal pertumbuhan sudah tercukupi airnya, Simetal akan tumbuh dengan vigor yang bagus sejak awal. Batangnya besar dan tegak, sehingga lebih tahan roboh. Daunnya juga cukup lebar dengan warna hijau gelap, sehingga memberikan kesan yang bagus dan meyakinkan bagi para petani sejak awal tanam.

Di samping itu, ketahanannya terhadap serangan penyakit bulai (Peronosclerospora maydis) juga bagus. Hal itu dibuktikan langsung oleh Jainudin. Ditanam di kawasan rawan serangan bulai, tanamannya tetap aman tanpa ada serangan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh tim R&D PT BISI juga menunjukkan bahwa BISI 321 “Simetal” secara genetis memiliki ketahanan yang baik terhadap serangan penyakit utama tanaman jagung tersebut.

Performa yang meyakinkan sejak awal tumbuh memang menjadi salah satu parameter yang dicari dan disukai petani. Dengan karakter pertumbuhan yang kuat dan bagus sejak awal tumbuh, serta ditunjang ketahanannya terhadap penyakit bulai, menjadikan Simetal sebagai salah satu jagung andalan yang menjawab keinginan para petani, khususnya para pecinta jagung BISI.

Tongkol Besar, Panjangdan Berbobot

Masa panen pun tiba. Performa tongkol Simetal benar-benar menarik perhatian. Bukan hanya para petani, grain collector pun dibuat kagum. Tongkolnya sangat seragam dengan ukuran yang besar dan panjang. Besarnya tongkol bisa dilihat dari jumlah barisan biji dalam satu tongkolnya yang mencapai 20 baris. Bukan hanya itu, bijinya yang berwarna merah mengkilap dengan sedikit topping kekuningan juga terisi penuh hingga ujung tongkol.

Bobot Simetal juga tidak perlu diragukan. Dari lima tongkol yang diambil secara acak dan kemudian ditimbang, bobotnya mencapai 2 kg. Sehingga, rata-rata berat tongkol Simetal mencapai 400 g, sangat berbobot.

Lantas bagaimana dengan bobot bijinya? Apakah juga berbobot? Setelah dilakukan pemipilan, dari lima tongkol itu diperoleh biji pipil kering panen dengan bobot 1.600 g. Dengan demikian, rendemen Simetal juga cukup tinggi, 80%. Sudah jelas terbayang seberapa besar hasil yang bisa diperoleh para petani jika menanam jagung hibrida super yang memiliki potensi hasil hingga 14,75 t/ha pipil kering itu.

Inilah yang ditunggu-tunggu para petani jagung. Varietas jagung baru yang menjadi jawaban atas keinginan mereka selama ini. Selamat mencoba, dan buktikan sendiri “kemetalan” BISI 321 “Simetal”. Besarnya Mantap! (M. Haris Sukamto)

CORONA Juga Menjangkiti Petani Tomat

Merebaknya virus Corona dari Wuhan, China, telah menjadi perhatian seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, Corona juga telah menyebar dan menjangkiti para petani, khususnya petani tomat. Namun begitu, mereka merasa senang meski dijangkiti. Pasalnya, Corona yang menjangkitinya itu membawa kepuasan dan keuntungan bagi mereka.

Tiga kali berturut-turut gagal panen, membuat Sugiono merasa trauma dan enggan untuk menanam tomat lagi. Tapi, lantaran sudah terlanjur jatuh cinta dengan komoditas sayuran satu ini, ia pun memutuskan untuk kembali mencoba menanamnya. Hanya saja, ia menggunakan varietas yang berbeda dari yang ditanam sebelumnya.

“Ada yang menawarkan benih tomat baru, Corona (402) ini. Saya coba juga,” ujar Sugiono saat ditemui Abdi Tani di ladang Corona 402 miliknya di Desa Tertek, Pare, Kediri, Jawa Timur.

Namun, karena masih trauma, ia enggan memberikan perawatan yang optimal. Tanamannya itu hanya dirawat ala kadarnya. “Saya tidak berani memberikan perawatan yang lebih dengan biaya yang banyak, karena takut gagal lagi,” imbuhnya.

Tomat hibrida yang ditanamnya itu akhirnya bisa tumbuh dengan baik, di luar perkiraan Sugiono. Padahal kondisi cuacanya saat itu juga kurang mendukung, hujan terus-menerus. Sehingga wajar jika ia tidak menaruh banyak harapan tomatnya itu bisa tumbuh optimal hingga akhir panen. Namun, semua di luar dugaannya.

“Ternyata tanamannya bagus. Ini saya tanam di lahan bekas bawang merah. Cabangnya saja tidak saya ikat di ajir, karena takut harus tambah biaya tenaga untuk mengikat. Saya takut rugi lagi,” ungkapnya.

Melihat tanamannya berhasil tumbuh dengan baik, meskipun kurang optimal karena perawatan yang seadanya dan minimalis, ada perasaan menyesal di benak Sugiono. “Kalau tahu tanamannya bisa baik seperti ini, dari awal saya berani merawatnya dengan lebih bagus. Apalagi harganya juga sedang bagus,” sesal Sugiono

Tanaman Corona 402 milik Sugiono itu sudah memasuki masa panen. Ada sekitar 8.500 tanaman, dan sudah memasuki panen yang ke-10. Hingga panenan kesepuluh itu, total ia sudah mendapatkan hasil panen tidak kurang dari 7 ton.

“Dalam kondisi ekstrim, hujan terus menerus, tomat ini masih bisa berbuah normal, dan hasilnya bisa optimal. Buahnya masih cukup banyak, padahal sudah panen kesepuluh,” terang Sugiono.

Menurut Sugiono, jika dibandingkan dengan tomat yang biasanya ia tanam dan tiga kali gagal panen, hasilnya jauh lebih bagus. “Dalam kondisi lingkungan yang sama seperti sekarang ini, apabila tanamannya normal, tomat yang lain itu sampai akhir panen biasanya maksimal hanya dapat 8 ton. Corona ini baru panen kesepuluh sudah dapat lebih dari 7 ton,” katanya.

Sugiono memprediksi, hingga habis panennya nanti, tomatnya itu bisa tembus 12 ton. “Karena pucuknya masih banyak keluar bunga dan buah. Tanamannya juga masih kuat dan daunnya segar, tidak ada yang leles (layu-red.). Kalau hujannya berkurang bisa lebih banyak lagi hasilnya,” terangnya.

Sementara itu di Nganjuk, Jawa Timur, Gunadi juga memiliki pengalaman yang sama dengan tomat yang mulai bisa dipanen pada umur sekitar 60 hari itu. Petani bawang merah asal Desa Pehserut, Sukomoro, Nganjuk itu baru pertama kalinya menanam tomat, dan Corona 402 sebagai varietas pertama yang ia coba.

“Karena harga bawang merah sedang jatuh, saya ganti tanam tomat ini. Alhamdulillah, sekali belajar tanam tomat bisa bagus hasilnya. Padahal cuacanya ekstrim,” ujar Gunadi.

Dari 4.000 tanaman Corona 402 yang ditanamnya itu, hingga panenan ke-7, Gunadi sudah mendapatkan hasil sekitar 5,5 ton. “Perkiraan masih bisa sampai 14 kali petik. Tanamannya masih bagus, tidak ada yang terkena layu dan virus. Padahal tomat lain milik teman sudah banyak yang rusak, baru petik ke tujuh sudah habis,” terang Gunadi.

Tahan Virus dan Layu

Serangan virus dan layu memang kerap menjadi kendala utama para petani tomat yang menanam di musim-musim yang sulit. Seperti Sugiono dan Gunadi itu, mereka menanam tomat di musim yang terbilang sulit, curah hujan tinggi dan tingkat serangan penyakit tinggi. Namun, meskipun sulit, biasanya harga panennya tinggi. Karena tidak banyak petani lain yang menanam.

“Banyak petani gagal panen, termasuk saya, karena tanamannya tidak tahan virus. Banyak hujan, banyak yang terkena jamur, layu. Buahnya juga pecah-pecah atau retak,” ujar Sugiono.

Namun, dengan menanam varietas yang lebih adaptif, seperti Corona, usaha tani tomat di luar musim itu menjadi lebih mudah. “Ketahanan penyakitnya (Corona) kuat. Ditanam di musim yang ekstrim tidak ada yang terkena layu ataupun virus. Sehingga wajar kalau masih tetap bisa panen di musim yang sulit begini,” terang Sugiono.

Heru Prasetyo, petani di Desa Kalianyar, Ngronggot, Nganjuk, juga membenarkannya. Ditanam di lahan bekas tomat dan di musim kemarau, Corona 402 miliknya benar-benar tangguh dari serangan virus yang banyak menyerang di musim tersebut dan juga layu yang mudah muncul di lahan bekas tomat.

Mantul tenan (mantap betul-red.). Benar-benar kuat tanamannya,” tegas Heru yang menanam 9.000 tanaman Corona 402 di lahan seluas 200 ru (±2.800 m2).

Demikian halnya dengan Sukra, petani sayur dari Desa Sukawangi, Kecamatan Pamulihan, Sumedang, Jawa Barat. “Sejak awal pertumbuhan bagus. Perawatannya lebih mudah, karena lebih tahan penyakit, terutama virus dan layu. Aman. Sampai sekarang sudah beberapa kali panen masih bagus,” terangnya.

Buah Keras dan Daging Tebal

Tomat Corona termasuk dalam golongan tomat semideterminate yang cocok ditanam di dataran rendah sampai dataran menengah. Buahnya berukuran sedang dengan berat sekitar 60 gram per buah.

“Buahnya bagus. Sangat seragam. Yang saya sukai itu (buahnya) keras dan dagingnya tebal. Tomat seperti ini yang disukai pasar di sini. Karena tidak mudah rusak kalau untuk kiriman jarak jauh,” kata Sugiono.

Hal yang sama disampaikan Gunadi. Menurutnya, hasil panen Corona 402 bisa langsung diterima pasar. “Pedagangnya langsung suka dengan buahnya yang seragam, keras, dan tahan simpan,” ujarnya.

Bukan hanya itu, buah tomat hibrida produk terbaru dari PT BISI itu juga lebat. “Mulai panen saat umur 63 hari setelah tanam, sampai sebulan lebih dipanen tidak habis-habis. Sampai lupa sudah berapa kali petiknya. Saking banyaknya. Lebat sekali buahnya. Per batang bisa lebih dari empat kilogram,” terang Heru.

Gunadi juga menyampaikan kepuasannya menanam tomat tersebut. Dengan segenap kelebihan yang dimiliki oleh Corona 402, bercocok tanam tomat menjadi lebih mudah, sekalipun di musim yang susah.

“Biayanya ringan, karena tanamannya lebih tahan penyakit dan mudah perawatannya. Hasilnya juga lebih banyak. Pokoknya tanam Corona (402) ini lebih enak, pasarnya pasti, hasilnya banyak, dan untungnya juga banyak,” pungkas Gunadi. (AT)

Lagi, Cerita dari “DESA ARIMBI 85”

Bagi Eko Febrianto, ini merupakan penanaman yang kedua kalinya. Setelah sebelumnya sukses dengan hasil yang diperoleh, ia pun kembali menanam cabai merah besar hibrida ini. Ya, Arimbi 85. Itulah nama cabainya.

Febri, yang masih berusia 29 tahun itu, merupakan salah satu dari sekian banyak petani muda milenial di Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang menanam cabai tersebut. Bahkan, Ngrejo boleh dibilang sebagai “Desa Arimbi 85”. Pasalnya, sebagian besar petani cabainya merupakan penyuka varietas cabai produksi PT BISI International, Tbk. itu.

Febri sendiri menanam sebanyak 4.000 tanaman di lahan seluas 150 ru (sekitar 2.150 m2). Pada penanaman sebelumnya, dengan populasi dan luasan lahan yang sama, ia bisa mendapatkan hasil hingga 6 ton atau per tanaman bisa menghasilkan 1,5 kg buah cabai segar.

Bahkan, dari hasil panen Arimbi 85 pada musim pertamanya itu, ia berhasil meraup omset hingga Rp250 juta. Hasil itu ia gunakan untuk membeli lahan yang ia sewa untuk menanam cabai tersebut. Dengan demikian, pada penanaman kedua kali ini ia sudah tidak menyewa lahan lagi, karena lahan itu sudah menjadi hak miliknya pribadi.

Seperti hendak mengulang sukses penanaman sebelumnya, pada panen perdana Arimbi 85 di musim tanam keduanya kali ini, Febri mendapatkan hasil 124 kg. Panen-panen berikutnya akan terus menyusul dengan hasil yang lebih banyak. Biasanya, dengan periode panen 3 hari sekali, ia bisa melakukan panen cabai tersebut hingga 20 kali.

Menurutnya, wajar kiranya jika Arimbi 85 memiliki produktivitas yang tinggi. Pasalnya, cabai tersebut sejak awal pertumbuhan sudah menunjukkan performa yang meyakinkan. Selain itu, ketahanannya terhadap serangan penyakit, terutama layu dan virus, juga lebih bagus, sehingga semakin memudahkan perawatan.

Cabai tersebut juga terbilang “bandel” dalam berbagai kondisi cuaca. Ditanam di musim hujan maupun kemarau hasilnya tetap optimal.

Satu hal lagi yang membuat Febri makin “anteng” bertanam Arimbi 85, yaitu hasil panennya yang diminati pasar. Terjaminnya pasar memang menjadi pertimbangan utama bagi para petani dalam bercocok tanam. Demikian halnya dengan cabai satu ini. Petani semakin tenang, dan juga senang, karena panennya melimpah, jualnya dijamin mudah.

Karakter buah Arimbi 85 memang spesial. Dari bawah hingga atas buahnya sangat seragam, baik dalam hal ukuran, warna, maupun bentuknya. Sehingga sejak awal hingga akhir panen buahnya stabil di kelas super.

Selain karena bentuk dan ukuran buahnya, pedagang menyukai hasil panen cabai tersebut karena daya simpannya yang bagus. Saat musim hujan, kesegaran buah Arimbi 85 bisa bertahan hingga empat hari setelah petik. Sementara saat musim kemarau, daya simpannya bisa lebih lama, hingga enam hari setelah petik buahnya masih tampak segar.

Jadi, tunggu apalagi? Buktikan sendiri “goyangan hot” Arimbi 85 dari ladangmu sendiri! (AT)

‘LEDAKAN’ di Ladang Batu Bertanah

Lahannya jauh dari kata ideal untuk bisa ditanami jagung. Tapi, dengan ketekunan para petani dan tambahan aplikasi BOOM Jagung, keterbatasan tersebut bisa memberikan hasil yang optimal, bahkan bisa lebih tinggi dari yang biasa didapat.

Untuk menuju ladang jagung milik Suka Tatti sejatinya tidaklah sulit, akses jalannya sudah cukup bagus untuk dilalui kendaraan, meskipun masih berupa jalan berbatu. Hanya saja, pandangan mata akan langsung teralihkan dengan tanaman jagung yang tumbuh di kanan dan kiri jalan. Bukan karena tanamannya, tapi kondisi tanah tempat tanaman jagung itu tumbuh yang membuat mata ini tertarik melihat. Sejenak terpikir, rasanya tidak mungkin kalau lahan berbatu, atau lebih tepatnya batu bertanah, itu bisa ditanami jagung dengan baik.

Ya seperti inilah kondisi kami bertanam jagung di sini. Jagung hanya ditanam di sela-sela batu dengan cara mencongkel dengan alat khusus dari besi yang bentuknya seperti sekop tangan,” ujar Suka Tatti, petani jagung di Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan kepada Abdi Tani.

Lahan jagung milik Suka sendiri terletak di kawasan perbukitan berbatu bagian selatan Sidrap. Ia bersama petani setempat lainnya setiap tahunnya memang hanya mengandalkan lahan tadah hujan tersebut untuk ditanami jagung.

“Semenjak ada pabrik pakan ternak di dekat sini, kami semua mulai beralih tanam jagung. Karena petani di sini diberi fasilitas untuk menjual langsung jagungnya ke pabrik itu, tanpa perantara. Sebelumnya lahan di sini hanya ditanami mete (pohon jambu monyet-red.) dan pisang,” terang Suka.

Selain kondisi lahan yang penuh dengan bebatuan, ketersediaan air juga menjadi faktor pembatasnya. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan air, praktis mereka hanya mengandalkan hujan. Dan hingga saat ini, komoditas jagung menjadi tumpuan penghasilan utama para petani setempat.

“Setahun kita bisa tanam jagung dua kali. Tapi tanam yang kedua itu untung-untungan, karena hujannya mulai tidak menentu,” ujar Suka.

Hasilnya meledak 40%

Bagi Suka, dan juga petani di Lainungan lainnya, bercocok tanam jagung di lahan berbatu memang sudah biasa, pun dengan hasil yang bisa dapatkan, mereka sudah merasa puas. Namun, dengan adanya masukan teknologi baru yang bisa mendongkrak produktivitas jagung, standar kepuasan yang selama ini mereka terapkan mulai bergeser naik. Terlebih setelah mereka bisa melihat sendiri peningkatan hasil dari tanaman jagung yang mereka tanam.

Itulah yang dirasakan langsung oleh Suka dan beberapa petani lain di Lainungan setelah menambahkan paket BOOM Jagung dalam usaha tani jagung mereka. Paket pupuk dan pestisida terbaru dari Cap Kapal Terbang tersebut secara nyata mampu meningkatkan produksi jagung petani secara signifikan, alhasil senyum mereka pun semakin lebar.

“Dengan menggunakan BOOM Jagung, sejak awal pertumbuhan, tanamannya sudah tampak berbeda. Lebih subur dan lebih tinggi tanamannya. Pertumbuhannya sangat seragam. Bahkan, semua yang lewat kebun saya ini heran dan berhenti untuk melihat-lihat. Mereka selalu tanya ke saya, kok bisa bagus dan seragam begini tanamannya,” cerita Suka.

Tanaman jagung milik Suka yang membuat banyak petani lain terheran-heran tersebut ditanam di lahan seluas 80 are atau sekitar 0,8 hektar. “Total yang saya tanam 15 kilogram benih. Yang menarik lagi adalah bijinya bisa terisi penuh hingga ujung tongkol,” ujarnya.

Meskipun ditanam dalam kondisi cuaca yang kurang bagus, ketersediaan air sangat terbatas akibat tidak ada hujan, dengan tambahan aplikasi BOOM Jagung, hasil yang bisa diperoleh Suka ternyata di luar dugaannya. Total, ia bisa memanen jagung sebanyak 7 ton pipil kering yang semuanya langsung masuk pabrik pakan ternak.

“Saya tidak mengira kalau hasilnya akan bisa sebanyak itu. Padahal, dalam kondisi cuaca yang tidak baik dan kekurangan air seperti sekarang ini, biasanya paling bagus hanya dapat 5 ton. Ini malah bisa dapat 7 ton, luar biasa,” terang Suka kegirangan.

Menurut Suka, peningkatan hasil panen hingga mencapai 40% tersebut sejatinya sudah bisa diprediksi sejak awal pertumbuhan. Dengan adanya aplikasi BOOM Jagung, tanamannya menjadi lebih sehat dan pertumbuhannya lebih bagus serta aman dari serangan penyakit.

Lebih lanjut Suka menuturkan, paket BOOM Jagung memang memacu tanaman untuk tumbuh lebih optimal sekaligus memberikan perlindungan bagi tanaman dari serangan penyakit. Hasil tersebut bisa didapat hanya dengan dua kali aplikasi paket BOOM Jagung. Yaitu saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (hst) atau sebelum pemupukan susulan pertama dan setelah pemupukan susulan kedua atau sekitar umur 40 hst.

Menurut Suka, ada manfaat lain jika paket tersebut diaplikasikan sebelum pemupukan pertama, yaitu bisa menghindarkan tanaman jagung dari serangan bulai. “Karena, biasanya seminggu setelah pemupukan pertama itu jamping (bulai-red.) mulai muncul. Dengan disemprot BOOM Jagung yang sudah ada pupuk sekaligus fungisidanya itu bisa memberikan perlindungan lebih baik. Ini buktinya, tanaman saya lolos dari bulai,” ujar Suka yang dalam aplikasinya menggunakan 1 paket BOOM Jagung untuk lima tangki semprot atau luasan 60 are.

Suka juga mengakui bahwa paket BOOM Jagung yang telah dicobanya tersebut sangat membantu para petani jagung seperti dirinya. Pasalnya, disamping berisi fungisida Recorplus 300EC, ZPT Bigest 40EC, dan perekat perata Besmor Jagung 600SL, paket ini juga dilengkapi dengan pupuk majemuk Multi Jagung yang mengandung unsur hara makro NPK dan unsur hara mikro (Ca, S) serta trace element (Cu, Zn, Fe, Mn).

“BOOM Jagung itu kalau saya lihat kandungannya sangat lengkap. Seperti unsur-unsur yang sangat dibutuhkan tanaman meski jumlahnya sangat sedikit, seperti seng dan besi. Jadi menurut saya, ini lebih pas bagi tanaman jagung,” ujar Suka. (AT)

Raydock 55EC, Amankan Bawang Merah dari Serangan Tentara

Beta siflutrin. Itulah salah satu nama bahan aktif insektisida yang cukup populer digunakan untuk mengendalikan serangan ulat pada tanaman budidaya, khususnya bawang merah.

“Bahan aktif beta siflutrin sendiri memang lebih banyak digunakan untuk mengendalikan hama golongan Lepidoptera atau ulat,” terang Ali Mashari, Pesticide Product Development PT Multi Sarana Indotani.

Menurut Ali, beta siflutrin bekerja sebagai racun kontak sekaligus racun perut. “Cepat mematikan serangga hama dengan cara merusak sistem saraf, dan efek residunya juga cukup lama sehingga bisa memberikan perlindungan lebih lama bagi tanaman dari serangan hama,” ujarnya.

Salah satu insektisida yang menggunakan bahan aktif beta siflutrin adalah Raydock 55EC (beta siflutrin 55 g/L). Bahan aktif tersebut tercatat lebih tinggi jika dibandingkan  insektisida sejenis lainnya.

Dengan bahan aktif yang lebih tinggi, kata Ali, maka daya kerjanya bisa lebih efektif dan efisien. Dosis penggunaannya juga lebih hemat.

Karno, salah seorang petani bawang merah di Desa Bagor Kulon, Kecamatan Bagor, Nganjuk, Jawa Timur itu juga membenarkan hal tersebut. Menurutnya, selain lebih efektif mengatasi serangan ulat grayak, insektisida Raydock 55EC juga tidak menimbulkan efek kuning di bagian ujung daun bawang merah.

“Bahan aktifnya lebih tinggi, tapi tidak membuat pucuk daun bawang (merah) menguning. Padahal obat (insektisida-red.) lain yang bahannya sama dan kandungan bahan aktifnya lebih rendah justru menimbulkan kuning di bagian pucuk daun setelah aplikasi,” terang Karno.

Sementara itu Andre, petani bawang merah asal Desa Duwet, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur mengungkapkan, dengan bahan aktif yang lebih tinggi dan daya kerja yang lebih bagus serta tidak menimbulkan efek merugikan pada tanaman bawang merah, tentu akan sangat menguntungkan petani seperti dirinya.

“Yang pasti lebih tenang, karena tanamannya aman dari ulat dan daunnya tidak rusak meski terkena semprotan,” ujar Andre.

Efek Knock-down Kuat

Raydock 55EC dengan bahan aktif beta siflutrin 55 g/L dan tertinggi di kelasnya, memang memiliki keunggulan berupa efek membunuh hama sasaran (knock-down effect) yang kuat dan cepat. Sehingga hama yang terkena semprotan atau kontak langsung dengan bahan aktif insektisida ini akan langsung mati.

“Efeknya cepat. Setelah semprot bisa langsung terlihat hasilnya. Ulat-ulat yang terkena semprotan langsung jatuh dan mati,” ujar Hasan, petani bawang merah di Desa Tegalrejo, Kecamatan Dringu, Probolinggo, Jawa Timur.

Meski baru pertama kalinya mencoba, Hasan mengaku tertarik untuk menjadikan Raydock 55EC sebagai alternatif pilihannya dalam mengantisipasi serangan ulat grayak yang kerap kali menjadi ‘momok’ bagi petani bawang merah.

Aplikasi insektisida produk dari Cap Kapal Terbang itu sendiri bisa dilakukan sejak awal tanam. “Untuk mengantisipasi serangan ulat grayak, sejak awal tanam sebaiknya sudah disemprot dengan Raydock (55EC). Konsentrasinya cukup 1 ml per liter air. Interval penyemprotannya menyesuaikan kondisi tanaman di lahan,” terang Ali.

Bukan hanya efektif mengendalikan dan mengatasi serangan “si tentara” di ladang bawang merah, Raydock 55EC juga ampuh mengatasi serangan ulat dan serangga hama lain yang ada pada tanaman cabai. Seperti yang sudah dicoba oleh Sholeh, petani cabai di Desa Randu Tatah, Kecamatan Paiton, Probolinggo. “Bagus juga untuk mengatasi serangan ulat, lalat buah, dan serangga hama lain,” kata Sholeh.

Hal itu juga dibenarkan Ali. Menurutnya, Raydock 55EC juga memiliki spektrum yang luas, sehingga tidak hanya serangga golongan Lepidoptera (ngengat dan ulat) yang bisa dikendalikan, tapi juga golongan yang lain, seperti Coleoptera (kumbang) dan Hemiptera (hama penusuk dan penghisap seperti walang sangit dan kutu-kutuan).

“Asalkan terkena atau kontak langsung dengan bahan aktif Raydock 55EC, maka semua hama serangga itu bisa dikendalikan dengan baik,” terang Ali.

Untuk dosis aplikasinya, lanjut Ali, tetap sama saat diaplikasikan pada tanaman bawang merah, yaitu konsentrai 1 ml/L air. (AT)

Di Hutan, BISI 99 Sangat Menawan

Saat itu, lahan hutan yang digarap Muhammad Soim mengalami kekeringan, hujan yang biasanya mengguyur tidak lagi datang. Sementara tanaman jagung super hibrida BISI 99 yang ditanamnya di bawah tegakan pohon mahoni milik Perhutani sudah memasuki masa generatif, yang membutuhkan asupan air yang cukup agar hasilnya optimal.

“Sudah lebih dari sebulan tidak ada hujan sama sekali, padahal tanamannya sudah mulai bertongkol,” ujar Soim petani lahan hutan Desa Pelang, Kecamatan Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur.

Soim pun hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena lahannya itu memang tadah hujan, yang hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya. “Mau bagaimana lagi? Tanamannya ya hanya bisa kami biarkan tumbuh semampunya tanpa pengairan sama sekali sampai panen,” ungkapnya.

Hal yang sama juga dirasakan petani jagung lain di wilayahnya. Meskipun dalam kondisi seperti itu, tanaman jagung BISI 99 milik Soim masih mampu tumbuh dengan baik, sementara tanaman jagung petani lainnya banyak yang mengalami kerusakan hingga gagal panen akibat kekurangan air.

“Tanamannya masih bisa tumbuh dengan baik. Hanya saja ukuran tongkolnya jadi kurang maksimal, tapi ukurannya tetap seragam dan bijinya penuh sampai ujung tongkol. Tapi ini sudah lebih bagus dari jagung lain, bahkan ada jagung lain yang sampai tidak keluar tongkol,” terang Soim.

Hal yang sama juga disampaikan Panikem, petani jagung lahan hutan Desa Sriwedari, Karanganyar, Ngawi. Kendala kekeringan memang sudah menjadi tantangan rutin bagi para petani jagung hutan di Sriwedari.

“Alhamdulillah dengan tanam BISI 99 ini masih bisa panen. Lainnya banyak yang tidak bisa panen, karena tidak ada air lagi,” kata Panikem.

Hasilnya pun, lanjut Panikem, masih memuaskan. Dari sekilo benih jagung super hibrida BISI 99, mampu menghasilkan hingga 500 kilogram jagung pipil kering. “Saya suka tongkolnya. Meskipun ditanam di bawah naungan (tanaman hutan), tongkolnya tumbuh seragam dan bijinya penuh semua. Warna bijinya juga bagus, kuning agak merah,” ujarnya.

Tahan Bulai dan Busuk Batang

Tantangan lain bercocok tanam jagung di sela-sela tanaman hutan adalah serangan penyakit yang dipicu infeksi jamur akibat dari kondisi lingkungan yang lebih lembab, seperti penyakit bulai dan busuk batang.

Untuk tantangan tersebut, BISI 99 sudah terbukti mampu menaklukkannya. Soim membuktikannya sendiri. Di tanam di bawah tegakan pohon mahoni, jagungnya itu tumbuh optimal aman dari serangan dua penyakit itu.

“Dari awal sudah bagus tumbuhnya. Lebih tahan bulai, sampai panen aman, meskipun sempat terkendala kekeringan,” katanya.

Sementara itu Joko Susanto, petani jagung lahan hutan dari Desa Rejuno, Kecamatan Karangjati, Ngawi, menyebutkan bahwa jagung produksi PT BISI International Tbk itu juga lebih tahan busuk batang.

“Biasanya bulai dan busuk batang sering menjadi masalah, tapi BISI 99 ini memang tahan. Tidak ada yang terserang, aman sampai panen, dan hasilnya memuaskan. Dari tiga kilogram benih, saya bisa dapat 1,24 ton pipil kering,” ujar Joko.

Maulan, petani jagung di Desa Pakisrejo, Kecamatan Tanggung Gunung, Tulungagung juga membenarkan. BISI 99 yang ditanamnya di bawah tegakan hutan jati tetap aman dari bulai yang dipicu jamur Peronosclerospora maydis dan juga busuk batang akibat infeksi jamur Fusarium sp.. (AT)

Si Keriting Super, Rimbun 3

Sunarno, atau biasa dipanggil Kisun, berjalan dengan raut muka sumringah (bahagia-jawa) di tengah-tengah hamparan ladang cabainya yang sebentar lagi memasuki masa panen perdana. Ia sedang mengairi sekaligus melakukan perawatan rutin terhadap tanaman cabainya itu.

Di lahan hutan milik Perhutani yang berada di Desa Gondang Tapen, Wates, Blitar, Jawa Timur, Kisun menanam tidak kurang dari 7.000 pohon cabai, beberapa di antaranya adalah cabai keriting hibrida Rimbun 3, yang berhasil membuatnya begitu sumringah tadi.

“Yang Rimbun 3 hanya dua ribu batang, karena baru pertama kalinya mencoba. Selebihnya cabai besar. Tapi melihat buahnya saja, saya sudah sangat senang sekali. Buahnya benar-benar rimbun. Nyenengne tenan, tandurane yo mupus terus (benar-benar menyenangkan, tanamannya juga terus trubus dan berbuah-red.),” ujar Kisun.

Melihat performa tanamannya yang menyenangkan itu, Kisun mengaku sangat yakin akan mendapatkan hasil yang melimpah nanti. “Saya yakin hasilnya bisa lebih dari satu kilogram per batangnya,” ungkap Kisrun yang sudah memantapkan diri untuk menanam Rimbun 3 lebih luas lagi pada musim tanam berikutnya.

Aman Suparman, petani sayuran asal Desa Linggamukti, Sucinaraja, Garut, Jawa Barat juga mengamini kerimbunan buah Rimbun 3 itu. Menurutnya, dengan perawatan yang biasa saja, hasilnya luar biasa.

“Tingginya bisa sampai dua meter, dan tidak berhenti berbuah. Berkat tanam Rimbun 3 saya bisa memperbaiki rumah saya ini,” ucap Aman yang kembali menanam Rimbun 3 sebanyak 6.000 pohon.

Menurut Aman, produktivitas Rimbun 3 cukup tinggi, lebih dari 1 kg/pohon. Hal itu didapatnya saat tanam perdana Rimbun 3 sebanyak 4.000 pohon. Total ia mendapatkan hasil tidak kurang dari empat ton. Dengan harga jual saat itu Rp32.000/kg, ia mendapatkan penghasilan hingga Rp128 juta.

“Waktu itu, dari 4.000 pohon, saya dapat keuntungan bersih Rp120 jutaan. Biayanya cukup irit, hanya Rp 7 jutaan,” ujar Aman.

Hasil panen itu, kata Aman, dua kali lipat lebih banyak dibanding hasil panen cabai keriting lainnya. Biasanya, cabai keriting yang biasa ia tanam sebelumnya maksimal hanya 20 kali panen. “Rimbun 3 ini sampai 40 kali petik, dua kali lipat cabai yang lain. Bahkan, sampai bunga kedua pun, bentuk dan ukuran buahnya masih tetap sama dan sangat seragam,” imbuhnya.

Sementara menurut Haji Ure, petani cabai di Desa Nanggerang, Cililin, Bandung Barat, Jawa Barat, selain produktivitasnya tinggi, Rimbun 3 juga memiliki umur panen yang genjah. “Rimbuh 3 sudah bisa dipanen sekitar umur 85 hari. Kalau cabai lain yang biasa saya tanam baru bisa dipanen pada umur 100 hari lebih atau selisih lima kali panenan dengan Rimbun 3,” katanya.

Tingginya produktivitas Rimbun 3 itu, kata Haji Ure, salah satunya ditunjang oleh karakter fisiknya. “Cabai ini memiliki percabangan yang banyak dan ruas yang pendek. Dari masing-masing ruas itulah muncul bunga dan buah. Sehingga wajar kalau hasilnya bisa lebih banyak,” terangnya.

Tahan virus dan layu

Di tengah kondisi lingkungan yang makin dinamis dan acapkali sulit untuk diprediksi, petani tentu sangat membutuhkan varietas yang lebih adaptif atau mampu bertahan di berbagai kondisi lingkungan seperti. Demikian halnya dengan Rimbun 3 ini. Di banyak kondisi, baik itu hujan ataupun kekeringan, cabai produksi PT BISI International, Tbk. itu tetap mampu bertahan dengan baik.

“Waktu saya tanam dulu pernah mengalami musim yang ekstrim, curah hujan tinggi, tapi setelah itu kering tanpa hujan sama sekali selama sebulan. Ternyata tanaman Rimbun 3 milik saya masih mampu bertahan. Padahal waktu itu petani cabai lain di desa saya banyak yang rusak karena layu,” ujar Jejen, petani cabai di Kampung Curug, Desa Bojong Gede, Banyuresmi, Garut, Jawa Barat.

Selain itu, lanjut Jejen, Rimbun 3 juga lebih tahan serangan virus Gemini yang umumnya menyebabkan daun tanaman menguning, keriting, dan stunting (kerdil), hingga tidak mampu berbuah.

“Musim tanam kemarin hampir semua petani cabai di sini terkena virus kuning. Tapi yang tanam Rimbun 3 alhamdulillah aman. Tanamannya masih tetap tumbuh dan berbuah normal,” terang Jejen.

Hal itu juga dibenarkan Aman. Terlebih serangan virus tersebut saat ini sudah tidak kenal musim lagi. Baik di saat kemarau ataupun hujan, intensitas serangannya sama tingginya.

“Meskipun ada beberapa yang kena, tidak banyak, dan yang penting lagi masih mampu untuk terus berbunga dan berbuah normal,” terang Aman.

Petani dan pedagang untung

Untungnya tanam Rimbun 3 tidak hanya dirasakan oleh para petani. Pedagang pun turut diuntungkan. Karakter buah Rimbun 3 yang merupakan tipe keriting sejati menjadi nilai lebih bagi pedagang, karena sudah pasti akan sangat diminati pasar.

“Yang pasti petani dan pedagang itu inginnya sama-sama untung. Rimbun 3 ini menurut saya sudah komplit semuanya. Pengerjaannya mudah, buahnya lebat, petiknya mudah, dan di pasar sudah langsung diterima,” ujar Haji Ure yang juga menjadi penyuplai cabai keriting di pasar induk Cibitung dan Caringin.

Tipe buah keriting sejati juga diakui Haji Ure sebagai salah satu keunggulan lain dari Rimbun 3. Buahnya benar-benar keriting dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga langsung mendapat respon positif di pasar. Daya simpannya juga bagus.

“Hasil panen Rimbun 3 di pasaran hampir semuanya masuk kelas 1, tidak ada yang masuk kelas 3. Karena buahnya merah merata dan mulus, serta lebih tahan simpan dan pengangkutan jarak jauh,” terang Haji Ure. (AT)

Bhaskara Reborn, yang DitungguTelah Kembali

Ma’ruf tampak sibuk mengawasi tenaga kerjanya yang sedang memanen cabai rawit di lahannya. Petani cabai asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Puncu, Kediri, Jawa Timur itu memang sedang memanen cabai rawit hibrida Bhaskara yang ia tanam di lahan seluas 450 ru atau sekitar 6.300 m2.

Meskipun baru empat kalinya panen, ia mengaku puas dengan hasil yang didapatkannya. “Sudah dapat delapan kuintal lebih,” ujar Ma’ruf.

Menurutnya, Bhaskara memang berbeda dengan cabai rawit lainnya, terutama yang varietas lokal. Produktivitasnya lebih tinggi dengan umur panen yang jauh lebih cepat. “Untuk mendapatkan sekilo (per pohon) itu tidak sulit,” kata Ma’ruf yang sudah berkali-kali menanam Bhaskara.

Bagi Ma’ruf, hal tersebut sangat menguntungkan petani sepertinya. Terlebih saat harga cabai sedang tinggi. “Cabainya bagus, cepat panennya, dan harganya juga pas tinggi,” ungkap Ma’ruf yang mengaku sudah mengantongi untung bersih Rp10 juta dari hasil panen Bhaskara yang “baru” keempat kalinya itu.

Hal serupa juga disampaikan Sugiharto, petani cabai dari Desa Bukur, Kecamatan Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur. Menurutnya, tingginya produktivitas Bhaskara itu salah satunya disebabkan oleh performa tanamannya yang lebih bagus.

“Bukan hanya lebih subur tanamannya, tapi buahnya juga lebih banyak. Bunga dan buahnya itu terus-terusan muncul,” ujar Sugiharto yang menanam Bhaskara 5.000 pohon, dan sudah tiga kali panen.

Narno, petani cabai  di Desa Manggis, Puncu, Kediri mengatakan, umur panen Bhaskara lebih cepat satu bulan dibanding cabai rawit lokal. Jika cabai rawit lokal baru bisa panen di umur 90-100 hari setelah tanam (hst), Bhaskara sudah bisa mulai dipanen pada umur 60 hingga 70 hst.

Menurut Narno, meskipun umur panennya lebih cepat, tapi masa atau durasi panennya lebih lama. Sehingga hasilnya juga lebih banyak. “Habisnya (buah yang dipanen) bisa sama dengan yang lokal. Yang penting, selama petaninya telaten merawat, maka hasilnya bisa tetap bagus dan banyak,” terangnya.

Kualitas buahnya sendiri juga bagus. Suroso, petani sayuran di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah mengatakan, bentuk dan ukuran buah cabai Bhaskara lebih bagus dan sangat seragam. “Tidak hanya seragam, tapi juga sangat lebat. Marem tenan ningaline (sangat puas lihatnya-red.),” ujarnya.

Sementara kalau rasanya sendiri, dijamin pedasnya. Parjono Sutrimo, petani di Desa Waru Karanganyar, Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah membenarkan. “Kualitas buahnya bagus, dan yang penting rasanya sendiri tidak kalah dengan lokal yang biasa ada di pasaran,” ucap petani muda itu.

Jago segala musim

Kelebihan lain dari Bhaskara yang juga menguntungkan petani adalah daya adaptasinya yang teruji bagus. Mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi tetap optimal hasilnya. “Bahkan dalam segala kondisi cuaca, hujan ataupun kemarau, hasilnya juga tetap bagus. Produktivitasnya tetap tinggi,” ujar Zainuri, Pimpinan Pengembangan Produk Benih Sayuran PT BISI International, Tbk..

Tanamannya juga lebih tahan terhadap serangan penyakit layu, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun jamur. “Ketahanan terhadap virus kuning juga cukup bagus,” terang Zainuri.

Triawan, petani sekaligus pemilik usaha persemaian bibit cabai di Desa Kenaiban, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah mengungkapkan, sejak di persemaian, pertumbuhan Bhaskara sudah meyakinkan. Tidak hanya lebih tahan dari penyakit, daya tumbuhnya juga sangat bagus. “Pertumbuhannya lebih cepat. Empat hari disemai pertumbuhannya bisa langsung byor (seragam dan muncul semua-red.),”ucapnya. (AT)

BISI 99, kering atau basah tidak jadi masalah

Tepat sebulan, sejak pertengahan April, hujan yang biasanya mengguyur ladang tadah hujan itu tiba-tiba sama sekali tidak turun. Padahal pertanaman jagung di bawah tegakan hutan mahoni milik Perhutani itu sebagian besar sedang memasuki masa-masa generatif yang membutuhkan asupan air yang cukup untuk menjamin produktivitas dan hasil panen yang optimal.

“Mau bagaimana lagi. Tanamannya ya hanya bisa kami biarkan tumbuh semampunya. Tanpa pengairan sama sekali sampai panen,” ujar Muhammad Soim, petani jagung yang menggarap lahan hutan milik Perhutani di Desa Pelang, Kecamatan Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur.

Pada musim tanam kali ini, Soim mencoba menanam varietas jagung super hibrida BISI 99 di lahan hutan tadah hujan. Meskipun tidak mendapatkan asupan air sama sekali hingga masa panen tiba, tanaman jagung milik Soim itu masih mampu tumbuh lebih baik dibanding pertanaman jagung lainnya yang umumnya banyak mengalami kendala akibat kekurangan air.

“Tanamannya masih bisa tumbuh dengan baik. Hanya saja memang besar tongkolnya jadi kurang maksimal karena waktu pembesaran buah kekurangan air. Tapi ini sudah lebih bagus dari jagung lainnya. Bahkan jagung lain ada yang tidak mampu berbuah,” terang Soim.

Bukan hanya mampu berbuah normal di tengah kekeringan, pertanaman BISI 99 juga lebih prima dibanding jagung lainnya. Daunnya masih hijau segar dan subur di usia panennya. Sementara jagung lain di sebelahnya banyak yang meranggas kekeringan.

“Dari awal tumbuh dulu memang bagus. Yang paling saya suka itu tanamannya lebih tahan bulai. Sehingga dari awal sudah bagus tumbuhnya. Meski akhirnya kekurangan air, tongkolnya masih bobot dan seragam. Bijinya juga muput (penuh hingga ujung tongkol-red.),” kata Soim.

Hal yang sama juga disampaikan Panikem, petani jagung di Desa Sriwedari, Karanganyar, Ngawi. Tahan penyakit dan kekeringan memang menjadi daya tarik utama bagi wanita tani itu terhadap BISI 99 yang telah ditanamnya. Pasalnya, ketiadaan air memang menjadi faktor pembatas utama bagi para petani jagung di sekitaran kawasan hutan Sriwedari.

Alhamdulillah taksih saget panen. Lintune katah ingkang mboten saget panen, mboten wonten tuyo (Alhamdulillah masih bisa panen. Lainnya banyak yang tidak bisa panen, karena tidak ada air-red.),” terang Panikem.

Selain itu, lanjut Panikem, hasil panennya sendiri juga memuaskan di tengah kondisi lingkungan yang kurang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jagung. “Hasile taksih lumayan. Setunggal kilo benih taksih angsal 5 kuintal. Padahal mboten wonten tuyo. Tongkole sae, wernine sae (Hasilnya masih lumayan. Satu kilogram benih masih bisa menghasilkan 5 kuintal pipil kering. Padahal tidak ada air. Tongkolnya juga bagus, warnanya bagus-red.),” ujarnya.

Juga tahan basah

Berbeda dengan Ngawi. Di Pasuruan, Jawa Timur, jagung super hibrida BISI 99 ditanam dalam kondisi lingkungan sebaliknya, yaitu kelebihan air. Hingga dijuluki sebagai salah satu varietas jagung yang tahan (kelebihan) air.

Adalah Abdus Somad. Salah seorang petani jagung di Desa Kanigoro, Rembang, Pasuruan, yang membuktikan sendiri keunggulan BISI 99 yang ditanam di lahan yang selama ini tidak pernah bagus saat ditanami jagung.

“Karena info awalnya jagung ini (BISI 99) tahan air, makanya langsung saya coba tanam di lahan saya yang selama ini tidak pernah bagus ditanami jagung. Karena tanahnya becek, dan tanamnya pas banyak hujan juga,” ujar Somad yang kembali tanam BISI 99 sebanyak 48 kg.

Hasil uji coba tanam itu memang langsung membuat Somad puas dan yakin dengan performa jagung tersebut. Dari 5 kg benih yang dicobanya itu ternyata memberikan hasil yang di luar prediksinya.

“Saya hitung dapatnya 59 karung glondongan. Setelah dipipil dan dikeringkan hasilnya 1,9 ton. Hasil itu sangat bagus. Karena di lahan itu maksimal paling bagus hanya bisa dapat 1 ton, itupun ditanam dalam kondisi normal. Lha yang (BISI) 99 ini ditanam dalam kondisi becek dan setelah pupuk kedua hujannya juga terus menerus tidak berhenti sampai panen,” cerita Somad.

Sucipto, petani jagung di Desa Mulyorejo, Kraton, Pasuruan, juga membenarkan hal itu. Menurutnya, selain tahan kelebihan air, BISI 99 juga sangat tahan terhadap penyakit khas di musim hujan, yaitu busuk batang. “Tanamannya sangat tahan busuk batang, tidak ada yang terserang. Padahal jagung lain banyak yang terserang,” terang Sucipto yang kini kembali menanam BISI 99.

Hal yang sama juga disampaikan Suaib, petani jagung di Desa Suwayuwo, Sukorejo, Pasuruan. “Tingkat serangan busuk batangnya tidak ada sama sekali. Sementara jagung lain yang saya tanam bersebelahan di lahan yang sama, banyak yang kena busuk batang,” ujarnya.

Suaib mengaku menyesal lahannya itu tidak semuanya ditanami BISI 99. “Karena jagung lain banyak yang kena busuk batang, akhirnya dibeli dengan harga lebih murah. Hanya Rp6 juta. Kalau saat itu saya tanami BISI 99 semua, pasti harganya lebih mahal. Minimal bisa dapat Rp8 juta. Karena pasti tidak ada yang terkena busuk batang dan tongkolnya itu juga besar-besar dan panjang. Lebih memuaskan,” terang Suaib. (AT)