“Tongkol Besar, Panjang, Warna Biji Ceria. Itu yang Saya Mau”

(Selasa, 27 April 2021)

Bagi Mohamad Masrudi, menanam jagung hibrida super BISI 321 “Simetal” merupakan pengalaman yang kedua kalinya. Di lahan seluas 1,5 bahu atau sekitar 10.500 m2, ia kembali menanam Simetal untuk menjawab rasa penasarannya.

Memang, pada penanaman perdananya kurang sukses. Saat awal tanam, tepatnya sesaat setelah benih Simetal ia tanam, diguyur hujan lebat hingga lahannya itu tergenang. “Tanahnya sampai tidak terlihat,” kisah petani asal Desa Wonosobo, Srono, Banyuwangi, Jawa Timur itu.

Ia pun mengira benihnya itu tidak akan bisa tumbuh lantaran tergenang. “Ternyata setelah lima hari, benihnya tumbuh semua. Bagus dan rata,” ujar Mas Rudi.

Saat berumur sekitar 90 hari, angin kencang menerjang hingga merobohkan sebagian besar tanamannya itu. Namun begitu, ia masih bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Menurutnya, meskipun roboh kondisi tongkolnya juga masih bagus. “Besar dan panjang. Warna bijinya ceria. Itu yang saya mau,” kata Mas Rudi.

Dari hasil panen perdananya itu, Mas Rudi masih bisa mendapatkan hasil sebanyak sembilan karung besar jagung gelondong per kilogram benih Simetal. “Setelah saya proses sendiri, per karung itu bisa dapat 52 kilogram pipil kering. Jadi, per kilogram benih saya masih bisa dapat lebih dari 450 kilogram jagung pipilan kering,” terangnya.

Dari situlah rasa penasarannya muncul. Ia ingin membuktikan sendiri bagaimana hasil panen Simetal jika kondisinya normal dan tidak roboh.

Pada penanaman kedua kalinya ini, Mas Rudi memberikan perlakuan sedikit berbeda dari sebelumnya. “(Penyemprotan) fungisidanya saya perbanyak dan pupuknya saya oplos (campur-red.). Sedangkan jarak tanamnya tetap, 80×20 cm,” terangnya.

Penambahan frekuensi penyemprotan fungisida itu, kata Mas Rudi, untuk mengantisipasi serangan penyakit busuk batang dan bulai. Jika sebelumnya hanya tiga kali semprot, kali ini ia lipatkan menjadi enam kali semprot dengan interval tujuh hari sekali.

Sementara untuk pemupukannya, lanjutnya, tetap dua kali, yaitu saat umur 15 HST dan 40 HST. Hanya saja, ia menambahkan pupuk NPK pada setiap tahapan pemupukannya itu. “Biasanya hanya Urea dan Phonska, kali ini saya tambah pupuk NPK,” jelas Mas Rudi.

Hasilnya, kata Mas Rudi, pertumbuhan tanamannya lebih optimal dan batangnya lebih kokoh. “Alhamdulillah tanamannya aman. Mudah-mudahan hasilnya lebih banyak dari sebelumnya,” harapnya.(AT)

Sujai : Terlanjur Mantab Dengan BISI 18

Awal perkenalan Pak Sujai (47) dengan BISI 18 dimulai saat pertama kalinya ia mulai ‘belajar’ bercocok tanam jagung, empat tahun yang lalu. Petani dari Dusun Bale Panjang, Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, Jawa Timur itu sebelumnya hanya menanam kedelai sebagai tanaman utama di lahan tadah hujan yang ia kelola.

Menurut Pak Sujai, alasan utamanya beralih ke tanaman jagung adalah karena hasilnya yang lebih banyak dibandingkan kedelai. Saat itu ia melihat hasil panen jagung di kawasan Raci, Pasuruan. Kemudian ia pun langsung tertarik untuk memulai usaha tani jagung. Tidak lagi bercocok tanam kedelai.

“Jadi, sejak pertama belajar tanam jagung itu saya sudah menggunakan benih BISI 18,” terangnya.

Hasilnya Sudah Terbukti

Meskipun saat itu baru pertama kalinya belajar menanam jagung, Pak Sujai langsung merasakan enaknya. Ia juga langsung merasa cocok dengan benih yang digunakannya, yaitu benih hibrida super BISI 18.

Pertama kalinya bercocok tanam jagung, semua lahannya ia tanami BISI 18. “Saya langsung tanam BISI 18 sebanyak sepuluh kilogram,” terangnya.

Menurutnya, jagung hibrida super produksi PT BISI International, Tbk. itu sangat cocok dengan kondisi lingkungan di daerahnya yang tadah hujan. “Pertumbuhannya bagus, apalagi setelah pemupukan pertama, cepat dan serempak tumbuhnya. Tanamannya juga lebih tahan bulai,” ujar Pak Sujai.

Hasilnya pun, kata Pak Sujai, langsung membuatnya ketagihan untuk kembali menanam BISI 18 sampai sekarang. “Hasilnya mantab, lebih tinggi ketimbang jagung yang lainnya. Saat itu dapat hasil 5 ton pipil kering (dari 10 kg benih),” jelasnya.

Hasil itu memberinya keuntungan yang berlipat. Dengan harga jual saat itu sekitar Rp3.500/kg, Pak Sujai mendapatkan hasil Rp17,5 juta. “Biayanya kurang lebih hanya Rp2 juta,” ujarnya. Dengan demikian, dari bercocok tanam jagung BISI 18 itu ia sudah mengantongi hasil bersih lebih dari Rp15 juta.

Menurut Pak Sujai, hasil panen BISI 18 memang lebih bobot, dan bobot pipilnya tidak banyak berkurang setelah dijemur hingga kering. “Bobotnya anteb (berat-red.). Satu karung bekas gula pasir itu bobot pipil keringnya mencapai 65 kilogram. Kalau menggunakan karung bekas pupuk beratnya sampai 75 kilogram. Itu sudah (pipil) kering,” urainya.

Lantaran itulah, kata Pak Sujai, sampai saat ini ia enggan untuk beralih dari BISI 18. “Mulai pertama sampai sekarang tetap BISI 18. Ndak pindah blas (tidak pindah sama sekali-red.). Merek (jagung) lain saya tidak tertarik. Sudah terlanjur mantab dengan BISI 18,” ungkapnya.

Bahkan, lanjutnya, para petani jagung di desanya juga menanam BISI 18. “Di desa saya semuanya tanam BISI 18. Karena hasilnya sudah terbukti nyata,” tegas Pak Sujai. (AT)

Eden Farm Gandeng BISI Hasilkan 186 Ribu Ton Cabai Per Tahun

Salah satu perusahaan rintisan (startup) bidang pertanian yang sedang berkembang pesat di Indonesia, PT Eden Pangan Indonesia (Eden Farm), menjalin kerjasama dengan PT BISI International Tbk (BISI) untuk menghasilkan produk-produk pangan berkualitas.

Kerjasama tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan langsung oleh Pendiri sekaligus CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan dan Presiden Direktur BISI Jemmy Eka Putra di warehouse Eden Farm Ciracas, Jakarta Timur (6/4/2021). Penandatanganan MoU tersebut juga disaksikan langsung oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementerian Pertanian RI Ir. Bambang Sugiharto, M.ENG.Sc.

Dalam kerjasama selama lima tahun itu, Eden Farm akan menyediakan dan mengelola lahan seluas 12.000 ha bersama petani mitra yang ada di pulau Jawa dan Sumatera untuk penanaman cabai, baik cabai rawit, cabai keriting, maupun cabai besar.

Sementara BISI sendiri sebagai salah satu produsen benih terkemuka di Indonesia, akan menyediakan benih cabai dan pestisida maupun produk agrochemical pendukung lainnya serta bimbingan teknis kepada para petani mitra selama pengelolaan lahan cabai tersebut.

Benih cabai hibrida yang akan disediakan oleh BISI totalnya mencapai 4,6 ton, yang terdiri dari: benih cabai rawit hibrida “Bhaskara” sebanyak 1 ton, benih cabai keriting hibrida “Rimbun 3” sebanyak 1,8 ton, dan benih cabai besar hibrida “Arimbi 85” sebanyak 1,8 ton.

Melalui kerjasama tersebut, nantinya Eden Farm akan mampu menambah pasokan hasil panen cabainya sebanyak 186.000 ton per tahun. Dengan konsep “farm to kitchen”, perusahaan yang didirikan pada 2017 silam itu dapat menyalurkan hasil panen cabai ke seluruh usaha kuliner di Indonesia dengan lebih efisien. Sehingga konsumen bisa mendapatkan produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau.

Menurut Pendiri dan CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan, melalui kerjasama tersebut pihaknya berharap bisa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjaga kestabilan harga cabai di Indonesia. “Kami yakin, kerjasama ini akan memberikan dampak yang sangat baik untuk kedua belah pihak dan akan membantu banyak petani di nusantara,” ujarnya.

Presiden Direktur BISI Jemmy Eka Putra dalam kesempatan yang sama mengatakan, kerjama tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih nyata terhadap kemajuan pertanian di Indonesia. “Kerjasama ini juga menjadi salah satu bentuk dukungan BISI terhadap pengembangan startup di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Jemmy, selain cabai, masih banyak tanaman lain yang potensial untuk dikerjasamakan dengan Eden Farm. BISI sendiri hingga saat ini telah memiliki 30 tanaman hortikultura dengan 293 macam varietas, mulai dari cabai, tomat, terong, jagung manis, semangka, melon, paria, sawi hingga bunga marigold.

Sementara itu Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Bambang Sugiharto menyambut baik kerjasama tersebut. “Saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah perkawinan, bukan kerjasama, yang harapannya bisa langgeng selamanya,” ujarnya.

Menurut Bambang, kerjasama yang dijalin Eden Farm dengan BISI itu merupakan tiga macam perkawinan. Yaitu: perkawinan teknologi dengan teknologi, perkawinan teknologi dengan bisnis, dan perkawinan bisnis dengan bisnis.

Sebagai perkawinan teknologi dengan teknologi, Bambang menyebutnya sebagai perkawinan sejenis. BISI dengan teknologi di bidang perbenihannya dikawinkan dengan Eden Farm yang sudah maju dalam teknologi rintisannya.

Yang kedua perkawinan bisnis dengan bisnis, yaitu bisnis mutualisme. “Bisnis yang saling menguntungkan dan ingin sukses bersama. Ini layak untuk ditiru,” jelas Bambang.

Sementara yang ketiga, lanjut Bambang, yaitu perkawinan teknologi dengan bisnis. “Teknologi BISI dikawinkan dengan bisnis moderen Eden Farm yang penuh dengan anak muda yang inovatif, kreatif, tidak takut gagal, dan lebih berani ambil resiko,” ujarnya

Lebih lanjut, Bambang berharap kerjasama tersebut bisa berjalan baik dan sukses dalam mengawal produksi pangan di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, juga dilakukan peninjauan fasilitas pengolahan bahan pangan yang dimiliki Eden Farm. Hingga saat ini, perusahaan tersebut telah mendistribusikan lebih dari 500 ton bahan pangan per bulan ke semua customernya yang tersebar di Jabodetabek, Cikarang, Karawang, Purwakarta, Bandung, Bandung Barat, Cimahi, Semarang, dan Surabaya melalui aplikasinya yang tersedia di Google Playstore atau Appstore. (AT)

Menengok 153 Ha SIMETAL di Perkebunan Glenmore

Hamparannya luas dengan kontur tanah yang tidak sepenuhnya datar, khas perbukitan dengan ketinggian sekitar 450 mdpl. Curah hujannya juga cukup tinggi, 3.000 – 3.500 mm per tahun. Itulah gambaran singkat lahan perkebunan milik PT Perkebunan Glenmore (PT Glenmore), perusahaan perkebunan karet di Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur.

Di lahan itulah, jagung hibrida super BISI 321 “Simetal” ditanam, dalam hamparan yang cukup luas, 153 ha. Penanaman jagung itu merupakan bagian dari optimalisasi lahan perkebunan agar tetap memberikan hasil yang menguntungkan bagi perusahaan produsen karet itu.

Menurut Supeno, Pimpinan Perkebunan PT Glenmore, lahan perkebunan yang digunakan untuk penanaman jagung tersebut merupakan lahan bekas tanaman karet yang sedang diremajakan.

“Setiap tahun itu kami membongkar tanaman karet untuk diremajakan. Setelah dibongkar itu ada tenggang waktu untuk melakukan replanting tanaman karet. Nah, selama masa tenggang itulah lahannya kami tanami jagung,” terang Pak Peno, sapaan akrab Supeno.

Tanaman karet sendiri, kata Pak Peno, dari awal tanam hingga bisa disadap getahnya memerlukan waktu 4-5 tahun. “Jadi, minimal selama lima tahun itu lahannya (yang ada di sela-sela tanaman karet) bisa kita tanami jagung,” ujarnya.

Kenapa memilih jagung? Menurutnya, tanaman semusim itu memiliki umur panen yang lebih pendek. Sehingga  bisa lebih cepat memberikan pendapatan bagi perusahaan.

“Tanaman jagung masih akan menjadi pilihan utama sebagai tanaman sela di perkebunan ini,” terang Pak Peno.

Menurut Pak Peno, terpilihnya Simetal sebagai varietas jagung andalan di perkebunan tersebut bukan tanpa alasan. Sebelumnya, pihaknya telah melakukan uji coba penanaman beberapa varietas jagung, salah satunya Simetal.

“Banyak varietas jagung yang kita coba tanam di sini. Ternyata, yang paling cocok dan potensi hasilnya tinggi memang BISI 321 ini. Sehingga untuk pengembangan selanjutnya, kami merasa BISI 321 masih menjadi varietas yang cocok untuk perkebunan di PT Glenmore,” ungkapnya.

Tahan Bulai dan Karat Daun

Salah satu alasan utama dipilihnya jagung Simetal di perkebunan milik PT Glenmore adalah ketahanannya terhadap serangan penyakit karat daun. Menurut Pak Peno, karat daun memang menjadi kendala utama penanaman jagung di areal perkebunannya.

“Karena di perkebunan ini curah hujannya tinggi, sekitar 3.000 hingga 3.500 mm per tahun. Sehingga kalau varietas itu tidak tahan, pasti akan kena karat daun,” terang Pak Peno.

Hal itu juga dibenarkan Mandor Kepala Afdeling Sumber Manggis PT Glenmore, M. Hasan Basri. Menurutnya, serangan penyakit yang dipicu oleh infeksi jamur Puccinia sorghi itu bisa mengakibatkan kerugian dan gagal panen.

“Tanaman jagung sebelum ini banyak kegagalan. Karena, tanamannya tidak tahan karat daun. Sampai 50% gagal panen,” terang Pak Hasan yang bertanggung jawab terhadap penanaman jagung Simetal seluas hampir 15 ha di Afdeling Sumber Manggis.

Ketahanan Simetal terhadap karat daun memang sudah teruji dan terbukti di perkebunan tersebut. Dari awal tanam hingga panen, tanamannya aman dari penyakit itu. “Pokoknya, kalau tanam jagung di sini, yang pertama harus tahan penyakit karat daun. Seperti BISI 321 (Simetal) ini, karena tahan karat daun, maka bisa selamat sampai panen,” ungkap Pak Hasan.

Bukan hanya karat daun, jagung Simetal juga terbukti bersih dari serangan penyakit utama pada tanaman jagung yang lain, yaitu bulai (Peronosclerospora maydis). “Bulai juga tidak ada. Aman,” tambah Pak Hasan.

Lebih Menguntungkan

Penanaman jagung hibrida super BISI 321 Simetal seluas 153 ha di perkebunan PT Glenmore itu dilakukan dalam waktu yang tidak bersamaan. Dari keempat afdeling, yaitu Sumber Manggis, Besaran, Kalitarik, dan Sepanjang Lor, umurnya beragam.

“Ada yang sudah panen. Tapi rata-rata sudah memasuki masa panen,” terang Pak Peno.

Dari tanaman yang sudah selesai dipanen di Afdeling Kalitakir, menjadi pembuktian tingginya hasil panen Simetal. “Hasil panen di Kalitakir dapat 15,7 ton gelondong per hektar,” ujar Pak Ribut, Kepala Mandor PT Glenmore.

Hasil itu, kata Pak Ribut, melebihi hasil rata-rata panenan jagung di perkebunan selama ini. “Rata-rata di bawah 10 ton per hektar gelondong. Paling bagus 12 ton (per hektar),” ujarnya.

Menurut Pak Ribut, kondisi lingkungan perkebunan dengan curah hujan tinggi dan rawan penyakit karat daun dan busuk batang memang memberikan tantangan tersendiri dalam budidaya jagung. “Kalau varietas jagung lain (yang sebelumnya ditanam pihak perkebunan), dengan kondisi seperti itu karat daun sudah pasti masuk. “Dari pengalaman kami, kalau sudah terkena karat daun hasilnya paling hanya bisa dapat 6 ton gelondong per hektar. Kami sudah pasti merugi,” ungkapnya.

Dengan hasil panen Simetal yang mencapai 15,7 t/ha tersebut, lanjut Pak Ribut, jelas memberikan keuntungan lebih bagi perusahaan. Tongkol besarnya benar-benar memberikan hasil nyata.

Seperti yang disampaikan Pak Hasan, dengan performa Simetal yang terbukti bagus itu untuk menghasilkan 16 ton gelondong per hektar bukan hal yang sulit. Dari hitungannya, dengan menanam Simetal dengan biaya Rp15 juta per hektar, maka untuk menghasilkan Rp30 juta per hektar bukan hal yang sulit.

“Apalagi ini tongkolnya lebih besar dan bobot, satu kilogram berisi tiga tongkol. Wah, ini iso oleh okeh (wah, ini bisa dapat banyak-red.),” kata Pak Hasan. (AT)

Memanen Cuciwis Montana

Keuntungan bercocok tanam kubis hibrida Montana bukan hanya dari melimpahnya hasil panen dengan kualitasnya yang super, tapi petani penanam masih bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil panen cuciwis atau kuciwis atau kubis mini yang tumbuh beberapa hari setelah kubis dipanen.

Cuciwisnya Montana banyak dan bagus, masih berbentuk kepala kubis, tidak pecah jadi daun. Sampai lima kali petik masih tidak pecah jadi daun. Kalau yang lain dua kali petik saja sudah jadi daun,” terang Haji Ade Sodikin, petani kubis Montana asal Desa Cisurupan, Cisurupan, Garut, Jawa Barat.

Dengan harga jual yang cukup bagus, berkisar Rp5.000/kg, hasil panen cuciwis Montana itu memberikan penghasilan tambahan bagi petani seperti Haji Ade. “Cukup untuk menutupi modal kerja,” ujar Haji Ade.

Dari sekitar 27.000 tanaman kubis Montana, Haji Ade bisa memanen cuciwis sebanyak 13,7 ton. “Itu belum termasuk yang saya kasihkan kepada para pekerja dan tetangga di sini. Kalau ditotal saya bisa panen cuciwis lebih dari 14 ton, dan itu pun belum habis,” terangnya.

Cuciwis Montana, kata Haji Ade, biasanya dipanen 10 – 14 hari setelah tanaman kubis dipotong atau dipanen. Cuciwis tersebut muncul pada bagian samping batang kubis yang telah dipotong. “Dalam satu tanaman Montana rata-rata ada dua atau tiga cuciwis. Total beratnya mencapai setengah kilogram per tanaman,” katanya.

Untuk mengoptimalkan hasil cuciwisnya, petani kubis seperti Haji Ade tersebut biasanya melakukan penyemprotan fungisida dan pupuk daun pada pangkal batang kubis yang telah dipanen atau dipotong tersebut.

Cuciwis sendiri bagi masyarakat sunda merupakan salah satu sayuran favorit. Dibandingkan dengan kubisnya sendiri, rasa kiciwis lebih manis dan lebih enak saat diolah menjadi masakan.

Layaknya kubis, kandungan nutrisinya yang lengkap pada kuciwis menjadikan sayuran tersebut memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Kandungan seratnya yang tinggi bisa membantu menjaga sistem pencernaan. Selain itu, kandungan klorofil pada daun cuciwis juga bisa mengatasi masalah sinusitis dan gangguan pada pancreas.

Kandungan vitamin dan mineralnya sangat bermanfaat untuk mencegah kanker dan menjaga kesehatan mata. Di samping itu, cuciwis juga baik untuk kesehatan gigi, tulang, jantung, dan otak, serta meningkatkan metabolisme tubuh dan mengurangi efek penuaan dini. (AT)

Panen Cepat atau Ditunda? Montana Bisa

Pak Dullah sudah beberapa kali menanam Montana. Salah satu alasan yang membuatnya suka bertanam kubis hibrida produksi PT BISI International, Tbk. itu adalah umur panennya yang fleksibel. Dipanen cepat bisa, ditunda panen pun juga tidak ada masalah.

“Umur 68 hari sudah bisa dipanen, (kepala) kubisnya sudah padat dan keras. Pernah juga saya undur panennya sampai 90 harian, kubisnya masih tetap tahan, tidak pecah,” terang petani kubis asal Desa Girirejo, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah itu.

Demikian halnya dengan Pak Meli, petani kubis di kawasan dataran tinggi Ijen, tepatnya di Desa Jampit, Kecamatan Ijen, Bondowoso, Jawa Timur. Kubis Montana-nya itu biasa ia panen di umur 80 – 90 hari setelah tanam.

“Bagus tanamannya, mudah perawatannya. Kemarin saya panen umur 90 harian,” ujar Pak Meli.

Menurut Agung Adriansyah, pemulia tanaman sayuran dataran tinggi dan Cucurbitaceae PT BISI, Montana memang bisa dipanen hingga umur di atas 90 hari setelah tanam, terutama jika ditanam di dataran tinggi. “Pada dataran menengah pun juga masih mampu untuk ditunda panen, khususnya saat ditanam di musim kemarau,” jelasnya.

Kubis spesialis dataran tinggi itu, kata Agung, cukup adaptif ditanam di semua musim, kemarau maupun penghujan. “Tanamannya lebih tahan penyakit busuk hitam atau black rot,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan Pak Sogol, petani kubis di Kelurahan Sarangan, Plaosan, Magetan, Jawa Timur. Selain lebih aman busuk hitam, kubis tersebut juga lebih tahan penyakit akar gada. Hal itu ia buktikan sendiri di lahannya yang berada di lereng gunung Lawu itu.

“Lebih aman dari akar gada juga. Jadi lebih mudah perawatannya,” kata Pak Sogol.

Sementara itu menurut Pak Agus, petani kubis dari Desa Cisurupan, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, kubis Montana juga lebih aman dari serangan ulat. “Saat kubis yang lain banyak bermasalah dengan serangan ulat, Montana yang saya tanam tidak banyak yang terserang. Padahal perawatannya juga sama saja,” terangnya.

Pak Meli juga membenarkan. Menurutnya, di kawasan Ijen, kubis Montana memang lebih tidak disukai oleh ulat. Sehingga saat musim banyak ulat, kubis yang ditanamnya itu lebih aman.

Disukai Domestik dan Ekspor

Masalah pasar menjadi pertimbangan utama bagi para petani sebelum memutuskan untuk menanam suatu komoditas. Demikian halnya dengan Montana. Hasil panen yang mudah diterima pasar menjadi alasan utama bagi mereka untuk menanam kubis tersebut.

“Mudah jualnya, disukai pedagang. Karena, bentuknya gepeng, padat, dan tahan simpan,” ujar Pak Dullah yang terakhir kubis Montana miliknya dipanen sebanyak 3.000 tanaman dengan berat rata-rata 2 kg.

Menurut Pak Sogol, selain karena lebih tahan simpan, pedagang juga menyukai hasil panen Montana karena lebih mudah dikemas dan kuat pengangkutan jarak jauh. “Kubisnya itu antep (bobot-red.), kata pedagangnya lebih aman di perjalanan dan tahan simpan,” jelasnya.

Bukan hanya pasar domestik, hasil panen Montana juga telah masuk ke pasar ekspor Taiwan. Menurut Pak Estu, pedagang asal Malang, Jawa Timur yang biasa menyuplai kubis untuk kebutuhan pasar ekspor, kubis Montana telah memenuhi syarat untuk bisa dikirim ke Taiwan.

“Montana sudah bisa masuk ke Taiwan. Karena, ukurannya besar, rata-rata di atas 2 kilogram. Selain itu rasanya juga manis dengan tekstur yang renyah,” terang Pak Estu. (AT)

Begini Cara Agar Bhaskara Tetap Membara

Bhaskara telah menjadi salah satu varietas cabai rawit hibrida andalan para petani di Indonesia. Hasil melimpah dengan umur panen yang lebih genjah menjadi alasan utama varietas ini sekian lama digemari para petani. Lantas, bagaimana mengoptimalkan potensi hasil dari cabai ini?

Menurut Andi Wahyono, pemulia tanaman cabai PT BISI International, Tbk., pada prinsipnya dalam budidaya cabai, khususnya Bhaskara, adalah mengontrol asupan nutrisi. “Kuncinya jangan terlalu banyak Nitrogen (N) dan lebih optimal dalam pemberian pupuk yang mengandung Kalium (K), Phosphat (P), Kalsium (Ca), dan Magnesium (Mg),” terangnya.

Lebih lanjut Andi menjelaskan, untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan potensi hasil Bhaskara bisa dimulai sejak awal persiapan lahan. Penggunaan pupuk kompos kotoran ternak, terutama kotoran kambing atau sapi, sebagai pupuk dasar sangat dianjurkan. “Selain menyuburkan, pemberian pupuk kompos juga untuk memperbaiki kualitas fisik, kimia, dan biologi dalam tanah,” ujarnya.

Oleh karena itu, katanya, dalam luasan satu hektar lahan, minimal dibutuhkan pupuk kompos sebanyak 5 ton. “Minimal lima ton per hektar. Maksimalnya tidak ada batasan. Semakin banyak semakin bagus,” jelas Andi.

Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah derajat keasaman tanah (pH tanah). Pengecekan pH tanah secara berkala penting dilakukan. pH tanah ideal yang sangat dianjurkan dalam budidaya cabai berkisar 5,5 – 7 (pH netral). Menurut Andi, pada kondisi pH tanah netral, maka tanaman akan lebih mudah menyerap unsur hara yang ada di dalam tanah.

“Untuk menjaga dan meningkatkan pH tanah, berikan dolomit seminggu sekali dengan dosis 20 gram per liter air dengan cara dikocorkan pada lubang pupuk,” terang Andi.

Kemudian, lanjut Andi, di awal pertumbuhan, berikan pupuk NPK yang kandungan unsur N-nya rendah (6 – 12%). “Berikan pupuk NPK rendah N dengan dosis 20 gram per litar air dengan cara dikocorkan pada lubang pupuk. Pada musim hujan, pengocoran cukup satu atau dua kali. Sementara pada musim kemarau, pengocorannya bisa sampai tiga kali dengan interval dua atau tiga minggu sekali,” jelasnya.

Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fase generatif tanaman, asupan unsur P dan K sangat dibutuhkan. “Saat tanaman mulai berbunga hingga menjelang panen, berikan pupuk Multi KP dan Multi KMg secara bergantian seminggu sekali. Bisa dengan cara disemprotkan pada daun tanaman dengan dosis 5 ml per liter air atau dikocorkan pada lubang pupuk dengan dosis 40 gram per liter air,” terang Andi.

Dengan pemupukan berimbang rendah N tersebut, lanjut Andi, selain pertumbuhan tanaman Bhaskara lebih optimal, hasil panen juga lebih banyak dan berkualitas. “Buahnya juga tidak mudah rontok, sehingga hasil yang bisa didapat petani akan lebih maksimal,” ungkapnya. Selamat berkebun Bhaskara! (AT)

Pedas Bhaskara yang Masih Membara

Setiap tahun, Joni selalu menanam Bhaskara. Usia panen yang lebih cepat dengan hasil panen yang lebih banyak menjadi alasan utama petani asal Desa Kedungmungal, Kecamatan Pungging, Mojokerto, Jawa Timur itu untuk selalu menanam cabai rawit hibrida tersebut.

“Tanamnya cepat. Tidak perlu terlalu lama untuk menunggu panennya. Hasil buahnya juga lebih lebat,” terang Joni.

Demikian halnya dengan Suparman, petani cabai yang juga dari Desa Kedungmungal. Sejak sepuluh tahun yang lalu, setiap kali menanam cabai rawit, Bhaskara menjadi andalan utamanya. “Selalu tanam Bhaskara. Pertama, karena hasilnya lebih banyak, buahnya lebih padat dan bobot. Kedua, pertumbuhannya cepat. Umur 60 hari setelah tanam sudah mulai panen. Padahal, cabai biasa, umur 100 hari baru bisa dipanen,” ujarnya.

Dari Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Wajo, Bhaskara juga sudah menjadi kesukaan para petani cabai di sana. Sandi salah satunya, pertama kalinya menanam, petani dari Desa Simpursia, Kecamatan Pammana, Wajo itu mengaku langsung jatuh hati dengan cabai rawit hibrida produksi PT BISI International, Tbk. itu.

“Bisa tahan penyakit layu dan busuk buah. Buahnya juga lebih banyak dan timbangannya lumayan berat. Senang tanamnya,” kata Sandi.

Bagi Sandi, meskipun belum pernah sekalipun menanam cabai, ia tidak merasa kesulitan sama sekali saat menanam Bhaskara. Menurutnya, menanam cabai tersebut justru lebih mudah. “Perawatannya lebih mudah, pertumbuhannya cepat, dan tidak mudah terserang penyakit,” terangnya.

Sementara itu, Suyadi, petani cabai dari Desa Puncu, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, juga menyampaikan kesenangannya saat bertanam Bhaskara. “Tanam Bhaskara itu enak. Biayanya irit, perawatannya juga tidak terlalu ruwet. Aman dari penyakit,” ujarnya.

Terlebih saat Suyadi melihat buahnya yang lebat. “Seneng banget, nang ati niku adem (senang sekali. Di hati rasanya dingin-red.). Karena, belum pernah saya menanam cabai rawit yang buahnya bisa selebat ini. Apalagi kalau harganya sedang bagus,” ungkapnya sambil tersenyum.

Hasil panen Bhaskara memang menggiurkan jiwa. Performa tanaman yang bagus sejak awal tumbuh semakin sempurna dengan buahnya yang lebat.

“Dari 4.500 tanaman, total bisa mendapatkan hasil tiga ton lebih. Lebat sekali buahnya,” kata Suparman.

Joni juga membenarkan hasil panen Bhaskara yang melimpah. Dari satu tanaman, katanya, minimal bisa menghasilkan setengah kilogram.

Sandi, yang baru mulai memanen Bhaskara yang ditanamnya juga mendapatkan hasil yang memuaskan. “Ini baru dua kali panen. Dari 2.500 tanaman, pertama panen dapat 11 kilogram, kemudian panen kedua dapat 31 kilogram. Harganya juga cukup bagus, Rp40.000 per kilogram,” terangnya.

Hasil yang melimpah namun dengan biaya yang lebih irit tentu menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi petani. Terlebih hasil panennya juga digemari pasar.

“Tanam Bhaskara memang lebih irit. Sampai panen pertama umur 60 an hari baru saya pupuk dua kali,” kata Suyadi.

Menurut Suyadi, hasil panen Bhaskara yang sudah diterima pasar menjadi nilai lebih tersendiri. Karena, sebanyak apapun hasil panennya, petani seperti dirinya tidak khawatir lagi dengan masalah pasca panen. “Hasil panen bisa dengan mudah dijual ke pasar,” ujarnya.

Suparman juga membenarkannya. Kini para petani cabai yang menanam Bhaskara tidak perlu khawatir dengan masalah penjualan hasil panen. “Pasar sudah menerima dengan baik,” katanya.

Adaptif di Bawah Naungan

Budidaya cabai Bhaskara bisa di mana saja dan kapan saja. Mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Musim hujan maupun kemarau.

Menurut Andi Wahyono, pemulia tanaman cabai PT BISI, cabai Bhaskara memiliki daya adaptasi yang lebih luas, sehingga bisa ditanam di mana saja. Bahkan, ditanam di bawah naungan pun tetap bisa optimal. Karena, tanaman cabai tersebut lebih tahan dari penyakit layu, baik itu layu bakteri maupun layu fusarium, yang sering menjadi kendala saat tanaman cabai ditanam di bawah naungan yang lebih lembab dan kurang cahaya.

“Cabai Bhaskara juga lebih toleran penyakit busuk Phytophthora. Ketahanan virusnya juga cukup bagus,” ujar Andi. (AT)

QUEEN 12, Hasil Melimpah, Lebih Aman Lalat Buah

Tidak perlu repot membungkus buah paria dengan plastik, dan tidak perlu terlalu khawatir lagi dengan serangan lalat buah. Itulah salah satu keuntungan bertanam Queen 12, “Si Ratu Paria” produksi PT BISI International, Tbk.

Musim hujan kali ini memberi tantangan tersendiri bagi para petani sayuran, salah satunya petani paria. Tidak hanya intensitas hujan yang tinggi sebagai akibat dari pengaruh La Nina, namun serangan hama dan penyakit juga meningkat. Serangan lalat buah misalnya.

Akhir-akhir ini banyak petani paria yang direpotkan oleh serangan lalat buah yang membuat hasil panennya bermasalah. Buahnya tidak normal, busuk, rontok, dan tidak bisa dijual.

Sebagai langkah antisipasi, tidak sedikit petani paria yang membungkus buah yang masih kecil dengan menggunakan plastik. Tujuannya agar lalat buah tidak hinggap dan meletakkan telurnya di buah tersebut.

Meski demikian, hal itu cukup merepotkan. Petani harus meluangkan waktu khusus, tenaga, dan biaya untuk membungkus semua buah yang masih ada di pohon tersebut.

“Repotnya begini, kita tanamnya kan banyak, jadi butuh waktu, tenaga, dan biaya tambahan yang yang lebih banyak. Yang jelas, kalau dibrongsong (dibungkus-red.) tenaganya gak nutut (tidak cukup-red.). Saya malah rugi kalau begitu,” ujar Sumarji, petani paria dari Desa Kunir, Kecamatan Wonodadi, Blitar, Jawa Timur.

Selama bertanam paria, Sumarji memang tidak pernah bermasalah dengan lalat buah. “Ada yang terserang, tapi sangat sedikit sekali, hanya beberapa buah saja,” terangnya.

Menurut Pak Marji, demikian panggilan akrab Sumarji, jenis paria yang ditanam juga sangat menentukan. Sejak dirinya menanam paria hibrida Queen 12, masalah lalat buat tidak pernah menjadi kendalanya.

“Queen 12 memang bagus dan lebih aman dari lalat buah. Tidak perlu dibrongsong (dibungkus-red.) buahnya,” ucapnya saat ditemui di lahan paria Queen 12 miliknya yang sudah mulai panen.

Hal yang sama juga disampaikan Anas, petani paria dari Desa Ngampel, Kecamatan Papar, Kediri, Jawa Timur. “Sejak saya tanam Queen 12 ini kok lebih aman dari lalat buah. Perangkap lalat buah yang saya pasang di lahan juga bersih, tidak ada yang terperangkap. Padahal, biasanya selalu ada lalat buah yang menyerang, terutama saat buah mulai dipanen,” ujarnya.

Yuni, petani sayuran dari Ponggok, Blitar, turut membenarkan. Meskipun baru pertama kalinya menanam Queen 12, buahnya lebih aman dari lalat buah. “Aman mas, tidak ada yang terkena lalat buah. Padahal pas musim hujan begini lalat buah banyak menyerang,” terangnya.

Sementara itu, Harjono, petani sayuran di Desa Mrebung, Kecamatan Klaten Selatan, Klaten, Jawa Tengah juga mengakui keunggulan paria tersebut. “Warna buahnya lebih gelap dari paria yang biasanya itu. Sejak awal berbuah sampai mulai panen ini cukup aman dari lalat buah,” katanya.

Menurut Hoerussalam, SP., M.Sc., Seed Health Testing Manager, Laboratorium Proteksi Tanaman, Departemen Bioteknologi, PT BISI International, Tbk., tanaman yang memiliki warna buah lebih gelap memang cenderung tidak disukai oleh lalat buah. Sehingga, warna buah paria Queen 12 yang lebih gelap menjadi nilai tambah tersendiri bagi petani, karena lebih aman dari lalat buah.

“Jika dibandingkan warna buah yang terang, khususnya kuning, warna buah yang lebih gelap cenderung tidak disukai lalat buah,” ujar Salam.

Hasil Melimpah

Jika hanya sekedar aman dari lalat buah rasanya tidak akan cukup memuaskan bagi petani. Karena, yang utama bagi petani adalah hasilnya yang melimpah dengan “bonus utama” ketahanannya terhadap serangan hama dan penyakit.

“Queen 12 ini bagus hasilnya, buahnya banyak. Sudah bertahun-tahun tanam selalu memuaskan, tidak ada masalah sama sekali,” ungkap Pak Marji yang rutin menanam Queen 12 hingga 2,5 ha dalam sekali musim tanam.

Saat puncak panen Queen 12, kata Pak Marji, dalam sekali petik bisa mendapatkan 3 ton/ha. Dari pengalamannya, periode panen paria tersebut rata-rata mencapai 25 kali petik dengan selang 3 hari “Puncaknya itu pada petikan ke-10 sampai ke-15. Bisa dapat tiga ton per hektar. Kalau dihitung per tanaman, rata-rata bisa menghasilkan lima kilogram,” terangnya.

Hal itu juga dibenarkan Anas. Menurutnya, paria tersebut memang berbeda dari yang lain. Terutama dalam hal produktivitas. “Hasilnya lebih banyak. Kalau dilihat dari tanamannya, sulur dan cabangnya serta calon buahnya itu memang lebih banyak. Sehingga wajar kalau buahnya lebih banyak dari yang lain,” ujarnya.

Demikian halnya dengan Harjono, meskipun belum lama beralih menggunakan benih Queen 12, ia sudah bisa membuktikan bahwa produktivitas paria tersebut lebih baik dari yang lain. “Buahnya berbeda, lebih seragam, lebih panjang, dan yang jelas lebih banyak. Untuk dapat lima kilogram per tanaman itu tidak sulit,” ujarnya.

Sementara bagi Yuni, menanam Queen 12 itu lebih memudahkan petani seperti dirinya. Pasalnya, perawatannya lebih mudah, irit biaya, dan hasilnya memuaskan. “Pare niki penak tandurane, penak ramutane, niki mawon lahane bekas lombok. Mupuke nggih sak kobere, ragate mboten katah (paria ini mudah tanamnya, mudah perawatannya, ini saja ditanam di lahan bekas cabai. Pemupukannya juga sekedarnya, biayanya tidak banyak-red.),” ujarnya. (AT)

Ceria Petani Minahasa Dengan GRAND 33

Richard Pantouw sudah kedua kalinya ini menanam kubis hibrida Grand 33. Pada penanaman kedua kalinya itu ia menanam sekitar 10.000 tanaman di ladangnya yang berada di Desa Tempok, Kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara.

Berada di ketinggian sekitar 700 mdpl, kubisnya itu tumbuh optimal meskipun di tengah guyuran hujan. Menurutnya, tanamannya terbukti lebih tahan penyakit busuk hitam (black rot) dan juga karat daun yang banyak menyerang tanaman kubis di Tompaso saat musim hujan.

“Grand 33 kuat di musim hujan. Tanamannya lebih tahan dari serangan karat daun dan busuk hitam,” ujar Richard.

Baginya, kubis Grand 33 termasuk istimewa. Pasalnya, selain tanamannya lebih bandel dan mudah perawatannya, umur panennya juga lebih cepat dibanding kubis lain yang biasa ditanam petani setempat.

“Umur 56 hari sudah mulai bisa dipanen. Lebih cepat tiga sampai empat minggu dibanding kubis lain,” terang Richard.

Dengan umur panen yang lebih genjah, petani bisa lebih cepat untuk mendapatkan penghasilan, dan lahannya bisa lebih cepat ditanami lagi.

Head atau kepala kubisnya sendiri, kata Richard, juga bagus. Bentuknya bulat pipih dengan lapisan daun yang padat, keras, dan kompak. Sehingga hasil panennya lebih tahan simpan dan kuat untuk pengiriman jarak jauh.

“Hasil panen kemarin semuanya untuk dikirim ke Maluku Utara. Barangnya bagus, kuat untuk kiriman jauh. Tidak ada masalah di pasar,” ujar Richard.

Menurut Richard, lebih dari 90% hasil panen Grand 33 masuk kategori grade A. Untuk masuk kategori tersebut, kubis harus memenuhi sejumlah kriteria, antara lain: bentuknya seragam, padat, ukurannya pas (diameter sekitar 20 cm), dan daunnya mulus tanpa ada bekas penyakit seperti karat daun.

Kubis Grand 33 milik Richard itu memiliki berat rata-rata 3 kg/tanaman. Total panennya mencapai 29 ton. Dengan harga jual rata-rata Rp7.000/buah, ia mendapatkan penghasilan total lebih dari Rp68 juta. Padahal, biaya tanamnya tidak lebih dari Rp7 juta. Sehingga ia pun mengantongi pendapatan bersih tidak kurang dari Rp60 juta.

Teruji, terbukti, dan akhirnya digemari. Begitulah akhirnya. Apa yang sudah dilakukan dan dibuktikan oleh Richard itu pun diikuti para petani kubis di daerahnya. Bahkan, salah satu tetangganya sudah langsung menanam hampir 20.000 tanaman Grand 33.

“Untuk wilayah Minahasa dan Tomohon sudah mulai banyak yang menanam Grand 33. Karena, sudah terbukti hasilnya,” ujar M. Yusran Saputra, Marketing Executive PT BISI International, Tbk. area Sulawesi Utara.

Yuk, tunggu apalagi? Coba dan buktikan sendiri! (AT)

Liberty, Bikin Mujiono Jatuh Hati

Bagi Mujiono, ini merupakan pengalaman pertamanya bertanam Liberty, bunga kol hibrida produksi PT BISI International, Tbk.. Bagi petani asal Desa Wonokerto, Kecamatan Plemahan, Kediri, Jawa Timur itu, bunga kol menjadi salah satu sayuran favorit dalam usaha taninya.

Meskipun baru pertama kalinya tanam, Mas Muji menanam Liberty cukup banyak, 11.300 tanaman. Bahkan, dia juga menanam lagi sekitar 10.000 tanaman di petak lahan yang berbeda.

“Saya ingin membuktikan sendiri bagaimana Liberty ini,” terangnya.

Menurut Mas Muji, dari awal tumbuh performa tanamannya itu sudah meyakinkan. Bahkan saat di awal tumbuh sempat terguyur hujan deras hingga tergenang, tanamannya masih bertahan dengan baik.

“Tumbuhnya bagus, seragam. Perawatannya mudah dan daunnya tidak mudah terkena cacar dan busuk lunak,” terang Mas Muji saat ditemui Abdi Tani di lahannya.

Lantaran lebih tahan penyakit, Mas Muji hanya melakukan penyemprotan pestisida seminggu sekali. Padahal kondisi lingkungan sering hujan, yang biasanya membutuhkan penyemprotan seminggu dua kali.

Genjah dan Disukai Pasar

Bagi Mas Muji, selain tidak rewel perawatannya, bunga kol Liberty yang ditanamnya itu juga lebih cepat panen atau genjah. Sehingga ia bisa lebih cepat mendapatkan hasil sekaligus menghemat biaya perawatan.

“Ini umur 45 hari sudah bisa mulai dipanen. Yang lain biasanya umur 60 baru dipanen,” ujarnya.

Menurutnya, bunga Liberty juga memiliki karakter yang lebih disukai pasar. Sehingga lebih mudah menjualnya. “Bentuk bunganya bagus, warnanya kuning. Bunga seperti ini yang disukai pedagang. Jadi pemasarannya lebih mudah,” katanya.

Hal itu juga dibenarkan Pak Solek, pedagang sayuran dari Desa Ploso Lor, Kecamatan Plosoklaten, Kediri. Menurutnya, bunga kol yang berwarna kuning memang lebih diminati pasar. Karena, lebih aman dan tahan simpan.

“Bunga kol yang warna putih kurang disukai, karena kalau kena gesekan saat pengangkutan warnanya berubah. Dan jika saat panen kondisinya tidak benar-benar kering akan mudah busuk. Sementara kalau bunga kol kuning itu lebih aman dan warnanya tidak mudah berubah,” jelas Pak Solek.

Ukuran bunganya sendiri, kata Pak Solek, juga sudah pas. “Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Kalau kebesaran sulit jualnya. Liberty ini bagus, ukurannya pas. Cocok untuk kirim Jakarta,” terangnya.

Batangnya sendiri juga besar dan tidak panjang dengan daun yang lebat/banyak. Menurut Pak Solek, hal itu lebih memudahkan pedagang sekaligus menguntungkan petani. Mudah bagi pedagang karena daunnya bisa digunakan untuk menutupi keseluruhan bagian bunga saat pengiriman. “Kalau bagi petani keuntungannya menjadi lebih bobot,” katanya.

Hal itu seperti yang dirasakan Mas Muji. Dari 11.300 tanaman, ia mendapatkan hasil panen Sebanyak 4,5 ton. Dengan harga jual rata-rata Rp5.000/kg, ia bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp22,5 juta.

Biaya tanamnya sendiri, kata Mas Muji, tidak lebih dari Rp7 juta. Sehingga ia berhasil mengantongi hasil bersih Rp15,5 juta. Penasaran? Yuk, cobain! (AT)

Di Serang, CROWN Perawatan Minimum Hasil Maksimum

Bagi Enjat Sudrajat, ini merupakan kedua kalinya menanam Crown. Paria hibrida produksi PT BISI International, Tbk. (PT BISI) itu telah membuatnya ketagihan. Perawatan yang mudah dengan hasil panen melimpah menjadi alasan utama Kang Enjat ketagihan dengan paria itu.

“Paria jenis Crown ini yang dicari petani. Hasilnya sangat memuaskan,” ujar Kang Enjat.

Menurut petani sekaligus pedagang sayuran asal Desa Sukarame, Kecamatan Cikeusal, Serang, Banten itu, hasil panen Crown memang membuatnya puas. Dari seribu tanaman yang ditanamnya, total ia bisa memanen sebanyak 4,5 ton, atau per tanaman bisa menghasilkan 4,5 kilogram.

“Padahal perawatannya seadanya. Hampir tidak pernah dipupuk, hanya mengandalkan sisa pupuk dari tanaman sebelumnya (tanaman melon-red.),” terang Kang Enjat.

Bahkan, lanjut Kang Enjat, untuk penyemprotan atau pencegahan serangan hama penyakit juga hanya beberapa kali saja. Padahal, biasanya ia selalu melakukan penyemprotan seminggu dua kali.

“Karena itulah saya tanam Crown lagi. Sudah terbukti hasilnya, perawatan minimum hasilnya maksimum,” katanya.

Kang Enjat makin sumringah saat hasil panen melimpahnya itu dibarengi dengan harga jual yang bagus. Hingga panenan habis, 15 kali panen, ia mendapatkan harga jual rata-rata Rp5.000/kg. Sehingga, dengan hasil panen 4,5 ton itu, ia bisa meraup penghasilan hingga Rp22 juta. Lantaran irit biaya tanam, tidak lebih dari Rp3 juta, maka Kang Enjat pun bisa mengantongi keuntungan bersih lebih dari Rp19 juta.

Selain perawatan mudah dan hasil yang melimpah, Kang Enjat juga menyukai Crown karena karakter buahnya. Menurutnya, warna dan ukurannya sudah ideal (1 kg berisi 3 buah), sesuai keinginan pasar.

“Hijaunya masuk, besar buahnya masuk, dan umur 37 hari sudah bisa panen. Kebetulan saya juga pedagang di pasar (Pasar Cikeusal-red.). Ketika saya tawarkan ke pelanggan, buahnya bisa diterima dengan baik,” jelasnya.

Pada penanaman yang kedua kalinya, Kang Enjat menanam Crown lebih banyak, tidak kurang dari 1.500 tanaman atau 30 bungkus benih. “Saat ini sudah panen yang kedelapan. Alhamdulillah sudah dapat tiga ton. Tiap kali panen rata-rata bisa mendapatkan 375 kilogram. Kondisi tanamannya sendiri masih bagus dan calon buahnya banyak,” ujarnya.

Sementara itu, Dewi Ratnawati, pemulia tanaman paria PT BISI, menyebutkan, dengan menanam Crown petani maupun pedagang bisa lebih diuntungkan. Karena, buahnya terbilang keras. Sehingga lebih tahan serangan hama lalat buah dan juga lebih tahan simpan.

“Pada kondisi ruang, daya simpannya bisa sampai tujuh hari. Asalkan panen buahnya pada umur maksimal, tidak terlalu muda,” terang Dewi.

Tanamannya, lanjut Dewi, juga tahan penyakit kresek (downy mildew) yang banyak menyerang di musim hujan. “Jadi kalau ditanam di bulan-bulan basah Crown lebih tahan,” ujarnya.

Lantaran itulah, kata Dewi, Crown termasuk varietas paria hibrida yang bandel dan tahan banting di segala musim. “Ditanam di musim hujan saja bagus, apalagi di musim kemarau,” tegasnya. (Fahmi Auladi/AT)

Saat Apel Terusik Kutu Sisik

Kutu sisik atau Diaspidiotus perniciosus menjadi salah satu hama utama pada tanaman apel. Hama tersebut pernah membuat jutaan tanaman apel di Kota Batu rusak parah hingga menurunkan produktivitas secara signifikan.

Tahun ini, intensitas serangannya diakui petani apel di Batu dan Malang juga masih cukup parah, terutama saat memasuki musim penghujan. Seperti yang disampaikan oleh Imam Sodikin, salah satu petani apel di Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Malang, Jawa Timur.

“Kutu sisik masih menjadi masalah utama petani apel, utamanya saat musim kemarau. Bahkan akhir-akhir ini serangannya cukup parah,” terang Imam atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Kunting.

Menurut Pak Kunting, pada tingkat serangan yang parah, semua bagian tanaman apel yang ditanamnya tidak luput dari serangan hama utama apel tersebut. Daun menguning, rontok, dan tunas yang ada tidak mampu berkembang. Jika menyerang pangkal buah, maka buah apel akan rontok.

“Kalau serangannya parah, bunga dan buah juga terserang. Buah yang terserang akan ada bintik-bintik pada kulitnya, dan lama kelamaan akan membusuk. Ranting-ranting tanaman juga akan mengering semua. Jika dibiarkan, tanaman akan mati,” ujarnya.

Hama tersebut memang sangat mudah menyebar, dan sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kutu sisik menjadi salah satu hama apel yang sulit dikendalikan. Pasalnya, hama tersebut memiliki tingkat perkembangan populasi yang tinggi, terutama pada saat musim kemarau.

Menurut Parry-Jones dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “Bionomics and Ecology of Red Scale in Southern Rhodesia”, populasi kutu sisik tertinggi terjadi pada saat musim panas. Dimana induk betinanya bisa menghasilkan 7 crawler atau larva kutu instar awal per hari. Sementara pada saat musim dingin, populasinya jauh berkurang, induk betina kutu sisik hanya menghasilkan 1 crawler per hari.

Selain pada tanaman apel, kutu sisik juga hidup pada beberapa tanaman perkebunan, seperti jeruk, kelapa, kakao, kapas, dan murbei. Sehingga, wajar jika populasinya tergolong tinggi.

 

Cuci Hama

Sebagai petani yang sudah 12 tahun menggeluti tanaman apel, Pak Kunting cukup hafal dengan OPT yang biasa menyerang tanamannya. Termasuk dengan serangan kutu sisik tersebut.

Untuk mengantisipasi dan mengendalikan serangan hama dan penyakit, yang salah satunya kutu sisik, Pak Kunting selalu melakukan “cuci hama” sesaat setelah tanaman apelnya dirompes atau digunduli daunnya.

Menurut Pak Kunting, selama cuci hama itu, ia menggunakan campuran insektisida Multitomil 40SP yang berbahan aktif Metomil 40% dengan insektisida Buzzer 500EC yang berbahan aktif Profenofos 500 g/L.

“Setelah dua kali cuci hama dengan menyemprotkan campuran Multitomil dan Buzzer ke seluruh bagian tanaman, efeknya langsung kelihatan. Serangannya berhenti dan tanamannya bisa kembali bertunas,” ujar Pak Kunting.

Untuk keperluan cuci hama itu, Pak Kunting menggunakan Multitomil 40SP dan Buzzer 500EC sesuai dosis anjuran. “Untuk dua drum (400 L), Multitomil-nya sebanyak 500 gram. Sementara Buzzer sebanyak 500 ml,” terangnya.

 

Sekedar informasi, cuci hama merupakan istilah perlakuan pestisida pada tanaman apel saat tanaman selesai dirompes daunnya hingga tanaman kembali bertunas. Tujuan utamanya adalah mengantisipasi dan mengendalikan serangan organisme pengganggu tanaman, baik hama maupun penyakit.

“Penyemprotan (pestisida) selama cuci hama itu biasanya dua kali. Antara penyemprotan pertama dan kedua selisihnya satu minggu,” ujar Pak Kunting.

Setelah tanaman apel kembali bertunas pasca cuci hama, perlindungan tanaman terus dilakukan dengan aplikasi pestisida yang tepat dan bijaksana. “Dosisnya lebih rendah dibanding saat cuci hama,” jelas Pak Kunting.

Sementara menurut Ali Mashari, Pesticide Product Development PT Multi Sarana Indotani, kombinasi antara insektisida kontak Buzzer 500EC dengan insektisida kontak sistemik Multitomil 40SP memang efektif untuk mengendalikan serangan kutu sisik pada tanaman apel.

“Gabungan dua insektisida tersebut menjadikan pengendalian hama kutu sisik menjadi lebih efektif. Bahan aktifnya mampu menembus lapisan perisai pelindung yang ada pada tubuh kutu tersebut,” terang Ali. (AT)